Baca artikel Popmama lainnya di IDN App
For
You

Internet Tak Diciptakan untuk Anak! Waspadai Pola Ancaman Digital Ini

Temukan Alasan Internet tak Diciptakan untuk Anak
Freepik
Intinya sih...
  • Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) meningkat, terutama KBGO seksual dan non-seksual.
  • Ancaman digital meliputi penyebaran konten intim, sexortion, dan reviktimisasi yang berdampak pada kehidupan nyata korban.
  • Pemerintah menciptakan regulasi PP TUNAS dan UPTD PPA untuk perlindungan anak di ruang digital, namun masih menghadapi tantangan implementasi di masyarakat.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Di tengah derasnya arus digitalisasi, Indonesia menghadapi tantangan besar, bagaimana memastikan perempuan, anak perempuan dan anak, kelompok yang secara struktural lebih rentan dapat menikmati manfaat teknologi tanpa tenggelam dalam risiko-risiko yang menyertainya.

Risiko daring seperti pelecehan, eksploitasi, misinformasi, dan eksklusi semakin memengaruhi perempuan, anak perempuan, anak, serta penyandang disabilitas. Seiring platform digital menjadi bagian penting dalam pendidikan, komunikasi, dan kehidupan sehari-hari, upaya untuk menciptakan ruang digital yang aman, saling menghormati, dan inklusif semakin mendesak untuk diperhatikan.

Pada Rabu (10/12/2025), Popmama.com berkesempatan hadir dalam diskusi Gelar Wicara sebagai bagian dari kampanye global 16 days of Activism Against Gender-Based Violance oleh Program kemitraan Australia-Indonesia yang menghadirkan perwakilan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, organisasi penyandang disabilitas (ODP), sekolah, peneliti, dan mitra pembangunan yang membahas bagaimana membangun ruang digital yang aman dan inklusif.

Ternyata, internet tak diciptakan untuk anak! Waspadai pola ancaman digital ini.

1. Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) kian hari kian mengkhawatirkan

Foto Bersama dengan Ditjen Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi dan Digital Mediodecci Lustarini, Asisten Deputi Penyediaan Layanan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus, KemenPPPA Ciput
Dok. KONEKSI, INKLUSI, SKALA, INOVASI

Komnas Perempuan mencatat lonjakan kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) konsisten mencapai ribuan sejak 2020. Sebuah sinyal bahwa ruang digital kini menjadi salah satu medan kekerasan paling nyata.

Menurut Robby Kurniawan, Asisten Koordinator Resource Center Komnas Perempuan, dua ancaman terbesar yang terus mengemuka adalah KBGO seksual dan non-seksual. Angkanya tinggi di seluruh Indonesia, “Di luar Jawa, laporan jauh lebih sedikit bukan karena kasusnya rendah, tetapi karena akses pelaporan sangat sulit. Ketimpangan infrastruktur membuat tantangan pelaporan yang jauh lebih berat,” jelasnya.

Ironisnya, sebagian besar pelaku adalah orang terdekat korban seperti pasangan, teman sebaya, hingga anggota keluarga.Sering kali, kekerasan tidak berhenti di layar, banyak kasus yang kemudian merembet menjadi intimidasi di dunia nyata hingga perdagangan orang. 

Gambaran ini memperlihatkan satu hal, ancaman digital bukan sekadar persoalan teknologi, tetapi persoalan keselamatan yang merebak dari ruang online hingga ruang publik secara nyata. 

2. Pola ancaman digital yang harus orangtua dan anak pahami

Pidato Kunci dari Plt. Minister Counsellor untuk Tata Kelola Pemerintahan dan Pembangunan Manusia di Kedutaan Besar Australia di Jakarta Hannah Derwent
Dok. KONEKSI, INKLUSI, SKALA, INOVASI

Ancaman digital terhadap perempuan, anak perempuan, dan anak datang dalam banyak bentuk. Namun dari berbagai laporan yang masuk, Nenden Sekar Arum, Direktur Eksekutif SAFENET mengidentifikasi tiga pola yang paling sering dan paling merusak:

1. Ancaman penyebaran konten intim

Banyak kasus bermula dari hubungan romantis, kedekatan emosional, atau relasi yang sudah dibangun lama. Kalau sudah begitu, pelaku akan memanfaatkan rasa percaya korban.

Pelaku meminta foto atau video intim dengan alasan “bukti cinta”, “tanda percaya”, atau “hanya untuk kita berdua” dan memberi ilusi rasa aman.

Namun yang tidak terlihat oleh korban adalah bahwa permintaan ini sering dirancang sebagai jebakan panjang. Begitu konten diberikan, pelaku mulai menekan korban dengan kata-kata manipulasi:

  • “Kalau kamu putus, aku sebar.”
  • “Kalau kamu nggak turuti, aku kirim ke temanmu.”
  • “Aku punya bukti, hati-hati.”

Ketika ketakutan sudah menjerat, rasa itu jadi alat kontrol dan kekerasan psikologis yang sangat menghancurkan.

2. Penyebaran konten intim

Tidak sedikit pelaku yang berani menyebarkan konten intim. Penyebaran bisa terjadi melalui group telekomunikasi sekolah atau kampus, akun anonim di media sosial, situs pornografi, atau bahkan dikirim langsung ke keluarga korban.

Dilatarbelakangi berbagai alasan yang kompleks, pelaku kadang mengaku sebagai pasangan yang marah setelah putus, teman yang menyebarkan tanpa izin, dan bisa juga menggunakan hidden camera, screen recording, atau device yang diretas.

Begitu konten menyebar, korban menghadapi gelombang emosional yang besar dari rasa malu, aib, kehilangan kendali atas tubuh sendiri, stigma moral, dan victim blaming. Lingkungan sering menyalahkan korban yang bersedia mengirimkan konten intim. Inilah yang membuat luka psikologisnya dalam dan panjang.

3. Sexortion

Sextortion adalah bentuk pemerasan yang menggunakan materi seksual (foto, video, atau informasi intim) untuk mengancam korban agar menyerahkan uang, layanan seksual, atau melakukan tindakan seksual lebih lanjut. Pelaku memeras korban dengan berbagai cara, misalnya meminta uang, memaksa korban mengirim konten tambahan, memaksa korban melakukan hal tertentu (offline maupun online), atau mengancam akan menghubungi keluarga, atasan, atau publik.

Semua ini menunjukkan bahwa dampak KBGO bersifat berlapis, psikologis, sosial, finansial, hingga masa depan karier. Ancaman, penyebaran konten intim, manipulasi teknologi, dan sextortion tidak hanya melukai di ruang digital, tetapi merembet ke setiap sisi kehidupan korban.

3. Reviktimisasi: virtual dalam bentuk, nyata dalam luka

Gelar Wicara Panel 1 bersama Sekretaris Ditjen Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi dan Digital Mediodecci Lustarini, Asisten Deputi Penyediaan Layanan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khu
Dok. KONEKSI, INKLUSI, SKALA, INOVASI

Kekerasan digital mungkin terjadi di layar, tetapi dampaknya dihadapi di dunia nyata. Trauma psikologis, kehilangan rasa aman, kerusakan reputasi, hingga kerugian finansial akibat karir yang terhenti sering terjadi pada korban. 

“44% perempuan dalam pemerintahan pernah menerima ancaman pembunuhan secara online, 73% jurnalis perempuan mengalami ancaman digital yang nyata dan berulang. Maka, perempuan dan anak dengan disabilitas bertambah rentan karena hambatan akses dan ketergantungan pada perangkat digital,” tegas Syamsul Tarigan, mewakili Gender Equality and Social Inclusion UNDP Indonesia.

Kekerasan berbasis gender online dampaknya seperti domino effect. Tidak hanya pada internal korban, melainkan berlapis hingga tercabutnya hak atas ekonominya. Manipulasi yang dilakukan di media digital akan meninggalkan jejak yang sulit untuk dihapuskan.

“Misalnya saat cari kerja, zaman sekarang penyedia lapangan kerja pasti akan memeriksa latar belakang dan riwayat hidup pelamar berdasarkan media sosialnya. Bagaimana jika korban sudah memiliki jejak digital yang buruk dan akhirnya susah untuk cari kerja,” ungkap Nenden Sekar Arum.

4. Upaya pemerintah dalam pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban kekerasan di seluruh Indonesia

Panel Discussion 1
Dok. KONEKSI, INKLUSI, SKALA, INOVASI

Mediodecci Lustarini, Sekretaris Ditjen Pengawasan Ruang Digital Komdigi RI membuka pembicaraan dengan pernyataan yang menyegarkan kesadaran banyak orang, “Internet tidak diciptakan untuk anak, dan ini harus kita sepakati bersama.”

Sekitar 80 juta anak dan remaja di Indonesia sudah menjadi warga digital aktif yang berinteraksi, bermain, belajar, dan membentuk identitas di ruang digital. Namun ruang itu, pada dasarnya tidak didesain dengan mempertimbangkan kebutuhan perkembangan anak.

Untuk mengendalikan fenomena ini, pemerintah melahirkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik Dalam Pelindungan Anak (PP TUNAS) yang mengatur tanggung jawab platform secara ketat.

Dalam tata kelola baru ini, platform/aplikasi diwajibkan untuk:

  • melakukan verifikasi usia yang lebih akurat;
  • meminta persetujuan orangtua untuk layanan tertentu;
  • menjaga dan membatasi penggunaan data pribadi anak;
  • menyesuaikan fitur dan fungsinya agar sesuai kebutuhan perkembangan anak, bukan hanya target bisnis;
  • serta mematuhi seluruh aturan perlindungan anak dan data pribadi.

Pemerintah juga mewajibkan aplikasi untuk mencantumkan batas usia pengguna yang terhubung dengan IGRS (Indonesia Game Rating System) agar orangtua dan anak mengetahui fitur mana yang sesuai usia.

Tetapi di luar semua itu, Mediodecci mengingatkan satu hal penting, “Kita sering melihat media digital sebagai peluang positif, sehingga kurang menyadari risikonya.” Maka, menjaga anak di dunia digital adalah tanggung jawab bersama, karena pemerintah tidak dapat berdiri sendirian, orangtua memegang peran paling penting.

Langkah pengawasan pun tidak berhenti di kertas regulasi. Pemerintah bekerja sama dengan kepala daerah membentuk UPT PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak) di setiap provinsi maupun kabupaten/kota dalam memberikan layanan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan berbasis gender. 

Fungsi UPTD PPA adalah menyelenggarakan layanan :

  • pengaduan masyarakat;
  • penjangkauan korban;
  • pengelolaan kasus;
  • penampungan sementara;
  • mediasi; dan
  • pendampingan korban.

5. Tantangan kebijakan dengan implementasi di masyarakat

Keynote Speech
Dok. KONEKSI, INKLUSI, SKALA, INOVASI

PP TUNAS dan UPTD PPA adalah fondasi penting perlindungan perempuan dan anak di ruang digital. Namun, pelaksanaannya masih menghadapi tantangan besar, terutama kesiapan SDM dan standar layanan.

Petugas di lapangan, mulai dari pendamping hukum, psikolog, hingga aparat penegak hukum, harus memiliki keterampilan manajemen kasus dan pemahaman psikologis korban. Penanganan KBGO jauh lebih sensitif dan kompleks sehingga membutuhkan standar minimum yang konsisten. Saat ini, baru delapan Polda yang memiliki cyber detective, sementara kasus juga banyak terjadi di daerah pelosok.

Terhitung 125 kota dan 3 provinsi belum memiliki UPTD PPA, padahal lembaga ini menjadi pintu pertama bagi korban. Kapasitas SDM, sarana pelaporan, dan dukungan anggaran masih belum merata, membuat beban kasus sering tidak sebanding dengan kemampuan layanan. Meski pemerintah telah menyediakan contact center 129 dan anggaran DAK untuk penguatan layanan, akses korban tetap belum optimal.

Intinya, keberhasilan PP TUNAS bergantung pada penguatan sistem dari SDM yang kompeten, infrastruktur pelaporan yang kuat, dan layanan yang benar-benar siap menangani korban KBGO bukan sekadar kebijakan di atas kertas.

Karena itu, pemerintah tak bisa bekerja sendirian. Regulasi yang kokoh dan sistem yang terhubung perlu berjalan seiring dengan masyarakat sipil yang sigap membangun awareness, saling menjaga, dan bergerak bersama melindungi ruang digital.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Novy Agrina
EditorNovy Agrina
Follow Us

Latest in Big Kid

See More

Playtopia Adventure, Playground Terbesar di Pulau Jawa!

13 Des 2025, 08:30 WIBBig Kid