- Memberi tahu orang tua setiap kali anak kabur dari sekolah,
- Mencatat berapa kali kejadian itu terjadi,
- Menyusun rencana penanganan khusus untuk mencegah terulangnya kejadian serupa.
Tragedi Miles Anak Autistik Tenggelam PIcu Kesadaran Keselamatan Anak

- Miles sering kabur dari sekolah dan rumah
- 75 anak autistik meninggal karena kabur, kebanyakan tenggelam
- Undang-undang baru di Maryland untuk perlindungan anak autistik
Seorang bocah laki-laki berusia lima tahun bernama Miles ditemukan tewas tenggelam di kolam dekat rumahnya di Maryland, Amerika Serikat. Ia keluar rumah sendirian melalui jendela ruang tamu dan berlari menuju kolam pada 13 Oktober 2024.
Tragedi ini menyita perhatian publik karena menunjukkan bahaya nyata bagi anak dengan autisme yang cenderung “wandering” atau kabur dari pengawasan. Tahun ini, tercatat setidaknya 75 anak autistik di Amerika meninggal akibat peristiwa serupa.
Berikut Popmama.com rangkum fakta penting dan pelajaran dari kasus Miles, yang bisa jadi pengingat untuk orang tua dalam menjaga keamanan anak.
Disimak, yuk!
Miles Sempat Kabur Ratusan Kali dari Sekolah

Sejak kecil, Miles sudah menunjukkan kecenderungan untuk “wandering” atau kabur dari pengawasan. Bahkan, tercatat ia berhasil kabur dari kelas prasekolahnya di Maryland lebih dari 700 kali.
Fenomena ini bukan sekadar kenakalan anak. Pada anak dengan autisme, perilaku wandering sering terjadi karena mereka tidak sepenuhnya memahami bahaya di sekitar. Dalam kasus Miles, pihak sekolah dan keluarga sudah memasang berbagai pengaman, namun risiko tetap tinggi. Hal ini menunjukkan pentingnya sistem pengawasan yang lebih kuat, terutama bagi anak dengan kebutuhan khusus.
Kasus Ini Bukan Satu-Satunya

Kasus Miles bukan satu-satunya peristiwa tragis yang terjadi. Sepanjang tahun 2024, sedikitnya 75 anak autistik di Amerika dilaporkan meninggal setelah kabur dari rumah atau sekolah, kebanyakan karena tenggelam. Jumlah ini menjadi yang tertinggi sejak National Autism Association mulai mencatat kasus wandering.
Selain Miles, ada beberapa kasus serupa yang ikut mengguncang publik. Di Idaho, Matthew Glynn (5) meninggal setelah kabur dari pesta ulang tahunnya dan tenggelam di kanal. Di Ohio, Joshua Al-Lateef Jr. (6) ditemukan di kolam dekat apartemen tempat tinggalnya. Sedangkan di Minnesota, Waeys Mohamed (4) tenggelam di sungai.
Deretan kasus ini menunjukkan bahwa anak-anak dengan autisme memiliki risiko tinggi terhadap bahaya di luar rumah. Ini menjadi pengingat bagi orang tua dan lingkungan untuk memperkuat pengawasan serta sistem perlindungan anak.
Muncul Undang-Undang Baru untuk Lindungi Anak Autistik

Tragedi meninggalnya Miles tidak hanya mengguncang keluarga dan lingkungan sekolah, tapi juga memicu perubahan kebijakan di negara bagian Maryland. Para guru dan pihak sekolah tempat Miles belajar mendesak adanya dukungan dan sistem pengawasan yang lebih baik untuk anak dengan autisme.
Desakan itu kemudian melahirkan undang-undang baru yang mewajibkan sekolah:
Aturan ini menjadi langkah awal untuk menciptakan lingkungan sekolah yang lebih aman bagi anak dengan kebutuhan khusus. Meski dibuat di Amerika, semangatnya juga relevan bagi sekolah dan orang tua di Indonesia bahwa sistem perlindungan anak harus terstruktur, bukan hanya mengandalkan pengawasan keluarga saja.
Fenomena Wandering Butuh Dukungan Sistemik

Banyak keluarga anak autistik, termasuk keluarga Miles, sudah berusaha keras melindungi anak mereka dengan memasang berbagai sistem keamanan di rumah, dimulai dari pagar tinggi, kunci ganda, hingga alarm pintu. Namun, semua itu sering kali belum cukup untuk benar-benar mencegah anak kabur tanpa pengawasan.
Fenomena wandering pada anak autistik menunjukkan bahwa perlindungan tidak bisa hanya dibebankan pada keluarga. Perlu dukungan yang lebih luas, mulai dari sekolah, lingkungan sekitar, hingga pemerintah. Misalnya dengan memberikan pelatihan keselamatan air, sistem pelaporan cepat ketika anak menghilang, serta pengawasan lingkungan yang lebih responsif terhadap anak berkebutuhan khusus.
Langkah-langkah ini dapat membantu mengurangi risiko terjadinya tragedi seperti yang dialami Miles dan anak-anak lainnya.
Tragedi yang menimpa Miles menjadi pengingat penting bahwa keamanan anak dengan autisme membutuhkan kerja sama dari banyak pihak. Tidak cukup hanya mengandalkan keluarga, tapi juga sistem pendidikan, masyarakat, dan kebijakan publik yang berpihak pada perlindungan anak berkebutuhan khusus.
Meski kasus ini terjadi di Amerika Serikat, pelajarannya sangat relevan bagi Indonesia. Edukasi masyarakat, pengawasan lingkungan, serta kebijakan sekolah yang lebih inklusif dapat membantu mencegah risiko wandering pada anak autistik di masa depan.



















