"Penduduk Indonesia masih terus tumbuh sampai sekarang, dan sampai sekarang masih tumbuh 6 orang per menit, 3 juta per tahun, dan masih akan tumbuh mencapai 324 juta di tahun 2045," ujar Dadan Hindayana.
Kepala BGN: 6 Bayi Lahir Setiap Menit, Mayoritas dari Keluarga Miskin

Situasi gizi anak-anak di Indonesia masih menjadi persoalan yang serius, terutama di lingkungan keluarga prasejahtera.
Data menunjukkan bahwa dalam setiap satu menit, terdapat enam bayi yang lahir di Indonesia, dan mayoritas berasal dari keluarga yang kesulitan secara ekonomi.
Kondisi ini membuat pemenuhan gizi seimbang menjadi tantangan besar. Fakta ini diungkapkan oleh Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, saat meresmikan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Sleman,Yogyakarta, pada Selasa (20/5/2025)
Berikut Popmama.com rangkum informasinya.
1. Lonjakan jumlah penduduk jadi tantangan besar

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menegaskan bahwa lonjakan jumlah penduduk di Indonesia menjadi tantangan besar dalam mempersiapkan generasi masa depan.
Dalam setiap menit, tercatat ada enam bayi lahir, atau sekitar tiga juta kelahiran dalam setahun. Saat ini jumlah penduduk Indonesia mencapai 284 juta jiwa.
2. Pertumbuhan penduduk didominasi keluarga tak mampu

Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) telah mengkaji, peningkatan jumlah penduduk di Indonesia ke depan paling banyak berasal dari kalangan prasejahtera.
Data menunjukkan masyarakat kelas atas memiliki rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 2,84 orang, yang terdiri dari satu ibu, satu bapak, dan anak rata-rata 0,84.
Kondisi serupa juga terjadi pada kelas menengah yang rata-rata memiliki 3,21 anggota keluarga, di mana satu ibu dan satu bapak hanya digantikan oleh 1,21 anak.
"Lantas pertambahan penduduk dari mana? Tentu saja dari keluarga miskin dan rentan miskin. Karena kalau kita gabung, anggota rumah tangganya miskin dan rentan miskin menjadi 4,56," kata Dadan Hindayana.
3. Mayoritas anak-anak tidak menerima gizi seimbang

Keterbatasan ekonomi menjadi faktor utama yang membuat anak-anak tidak mampu mengakses makanan dengan gizi seimbang.
Dadan Hindayana juga menjelaskan bahwa hasil uji coba program Makan Bergizi Gratis (MBG) menunjukkan bahwa sekitar 60 persen anak penerima manfaat sebelumnya tidak pernah mengonsumsi makanan bergizi seimbang.
Dalam kesehariannya, anak-anak tersebut hanya mengandalkan karbohidrat tanpa protein, seperti nasi dengan bala-bala, mi, bihun, atau kerupuk.
“Nanti kalau makan [daging] sapi, kalau di Sukabumi — bukan di sini, bukan di Sleman — itu makan daging sapinya kalau Idul Adha saja. Makan ayamnya mungkin sebulan sekali, makan telurnya mungkin seminggu sekali, gitu ya. Nah, kemudian 60% anak itu juga yang dalam intervensi ini, tidak pernah minum susu,” ujarnya.
4. Investasi gizi untuk masa depan Indonesia

Dadan Hindayana menegaskan bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah salah satu investasi terbesar Indonesia demi masa depan sumber daya manusia dalam menyambut era Indonesia Emas 2045.
Ia mengingatkan, tanpa intervensi gizi yang tepat bagi anak-anak saat ini, Indonesia berisiko mengalami bonus demografi dengan kualitas SDM yang rendah.
Hal ini disebabkan sebagian besar anak lahir dari orang tua dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah, rata-rata hanya sampai SMP, mengingat rata-rata lama pendidikan di Indonesia sekitar 9 tahun.
"Nah, ini adalah tujuan kenapa makan bergizi harus dilakukan," jelas Dadan.
Bagaimana menurut pendapat Mama soal informasi ini?



















