- Anak menolak hampir semua jenis makanan
- Kehilangan berat badan atau menunjukkan tanda-tanda kekurangan nutrisi seperti lesu, kulit kering, dan gangguan tidur.
Benarkah Picky Eater Dipengaruhi Genetik? Ini Kata Studi

- Studi terbaru menunjukkan bahwa sifat picky eater pada anak dapat dipengaruhi oleh faktor genetik, bukan semata karena pola asuh.
- Lingkungan, seperti durasi pemberian ASI dan pola makan orangtua, juga berperan penting dalam membentuk kebiasaan makan anak.
- Orangtua bisa membantu anak picky eater dengan memberi contoh positif, menciptakan suasana makan menyenangkan, dan memperkenalkan makanan baru.
Setiap Mama pasti pernah menghadapi drama saat si Kecil susah makan. Mulai dari menolak sayur, menutup mulut rapat-rapat, sampai hanya mau makan menu yang itu-itu saja. Kondisi ini sering kali membuat orangtua khawatir dan merasa bersalah, seolah ada yang salah dalam cara mengasuh atau memberi makan anak.
Namun, studi terbaru justru memberikan pandangan baru yang cukup melegakan, Ma. Melansir laman Parents, para peneliti menemukan bahwa perilaku picky eating ternyata tidak sepenuhnya disebabkan oleh pola asuh atau kebiasaan makan di rumah. Faktor genetik juga berperan besar dalam membentuk perilaku anak yang cenderung memilih-milih makanan.
Artinya, jika si Kecil sulit makan, belum tentu itu karena Mama kurang kreatif menyajikan menu atau kurang sabar menghadapi waktu makan. Dalam banyak kasus, faktor bawaan dari lahir bisa memengaruhi seberapa sensitif anak terhadap rasa atau tekstur makanan tertentu.
Yuk, simak penjelasan lengkapnya yang sudah Popmama.com rangkum berikut ini!
1. Benarkah picky eater itu dipengaruhi genetik?

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti di University College London menemukan bahwa perilaku picky eating dapat diwariskan secara genetik. Studi ini dilakukan dengan melibatkan lebih dari 4.800 anak kembar di Inggris, dilansir dari Parents.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak kembar identik yang memiliki 100 persen kesamaan gen, menunjukkan perilaku makan yang jauh lebih mirip dibandingkan anak kembar non-identik yang hanya berbagi 50 persen gen. Artinya, faktor genetik memiliki pengaruh besar terhadap kebiasaan makan anak, termasuk kecenderungan untuk menolak makanan tertentu.
Menurut para peneliti, perbedaan ini tidak disebabkan oleh pola asuh yang berbeda, melainkan oleh variasi genetik yang membuat anak memiliki tingkat sensitivitas berbeda terhadap rasa, aroma, dan tekstur makanan. Karena itu, mereka menekankan bahwa perilaku picky eating bukanlah hasil dari “kesalahan” orangtua, melainkan kombinasi dari faktor bawaan dan lingkungan.
2. Faktor lingkungan tetap berperan, tapi tidak dominan

Meskipun genetik memiliki pengaruh besar, bukan berarti lingkungan tidak berperan sama sekali, Ma. Lingkungan tempat si Kecil tumbuh, seperti pola makan keluarga, rutinitas makan bersama, serta cara orangtua memperkenalkan makanan baru juga dapat memengaruhi seberapa parah picky eating pada anak.
Selain itu, lingkungan yang positif saat makan juga membantu. Hindari memaksa si Kecil untuk menghabiskan makanan atau membuat waktu makan menjadi situasi penuh tekanan. Sebaliknya, ciptakan suasana yang menyenangkan dan bebas stres agar si Kecil lebih mudah menerima makanan baru.
3. ASI eksklusif dapat mengurangi risiko picky eating

Selain faktor genetik dan lingkungan, faktor nutrisi awal juga punya pengaruh besar terhadap kebiasaan makan anak. Menurut studi, bayi yang diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan memiliki risiko 75% lebih rendah untuk mengalami neofobia makanan atau ketakutan mencoba makanan baru dibandingkan bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif.
Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ASI tidak hanya penting untuk tumbuh kembang fisik, tetapi juga berperan dalam membentuk kebiasaan makan yang lebih baik di kemudian hari. Rasa dan aroma beragam yang terkandung dalam ASI membantu bayi mengenali berbagai cita rasa sejak dini, sehingga mereka lebih terbuka terhadap variasi makanan saat masa MPASI.
4. Kapan picky eating perlu diwaspadai?

Perlu Mama tahu, picky eating pada umumnya merupakan fase normal dalam tumbuh kembang anak, terutama di usia 1 hingga 3 tahun. Namun, jika perilaku ini berlangsung terlalu lama hingga memengaruhi berat badan, pola pertumbuhan, atau menyebabkan stres berlebih di rumah, sebaiknya konsultasikan dengan dokter anak atau ahli gizi. Beberapa tanda yang perlu Mama perhatikan:
Dalam beberapa kasus, picky eating yang ekstrem bisa menjadi gejala dari kondisi lain seperti gangguan makan anak atau pediatric feeding disorder yang memerlukan penanganan lebih lanjut.
5. Tips untuk membantu anak picky eater

Meski picky eating bisa dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan, bukan berarti tidak ada yang bisa dilakukan, ya, Ma. Justru, peran orangtua sangat penting dalam membantu si Kecil belajar menikmati berbagai jenis makanan dengan cara yang positif. Mama bisa mencoba beberapa langkah sederhana ini di rumah:
- Berikan contoh positifSi Kecil cenderung meniru perilaku orangtuanya. Jika Mama dan Papa makan dengan beragam menu sehat, si Kecil akan lebih mudah mengikuti.
- Perkenalkan variasi sejak masa MPASIMama bisa mulai memperkenalkan berbagai rasa dan tekstur makanan agar si Kecil terbiasa dengan variasi menu. Semakin beragam makanan yang dicoba sejak dini, semakin kecil kemungkinan anak menjadi picky eater di kemudian hari.
- Tawarkan makanan dalam porsi kecilHindari menumpuk piring dengan makanan baru, karena bisa membuat anak kewalahan. Sajikan sedikit demi sedikit agar si Kecil tidak merasa terpaksa mencoba.
- Ciptakan suasana makan yang menyenangkan. Hindari tekanan atau paksaan. Jadikan waktu makan sebagai momen kebersamaan agar si Kecil lebih rileks dan menikmati makanannya.
Jadi, ternyata sifat picky eater pada si Kecil memang bisa dipengaruhi oleh faktor genetik. Namun, lingkungan dan pola asuh tetap memegang peran penting dalam membantu anak belajar makan dengan baik dan menikmati berbagai jenis makanan.
Semoga informasi ini bermanfaat, Ma!



















