7 Bibit Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di Kehidupan Anak, Waspadai!

Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) bukan hanya isu besar di dunia politik atau pemerintahan, isu ini juga bisa muncul dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sejak si Anak masih kecil.
Menurut KBBI, korupsi adalah penyalahgunaan uang negara, perusahaan atau uang bersama untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Kolusi adalah kerja sama secara rahasia atau tidak jujur untuk maksud tertentu, khususnya untuk merugikan pihak ketiga.
Nepotisme adalah kecenderungan untuk mengutamakan atau hanya menguntungkan sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat, dan sebagainya.
Ketiga hal ini sering kali tanpa sadar ditanamkan oleh orangtua melalui pola asuh yang kurang tepat.
Mama perlu waspada, karena bibit KKN dapat tumbuh dari kebiasaan sederhana yang terlihat sepele.
Jika perilaku ini terus terjadi, si Anak akan tumbuh dengan pola pikir bahwa kejujuran dan usaha tidak sepenting hasil akhir.
Untuk mencegahnya, telah Popmama.com rangkum 7 bibit korupsi, kolusi, dan nepotisme di kehidupan anak.
1. Nilai tidak cukup, orangtua turun tangan

Ketika si Anak mendapatkan nilai yang kurang baik, beberapa orangtua mungkin memilih untuk langsung turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini, misalnya dengan meminta guru menambahkan nilai atau mencari cara agar si Anak tidak merasa gagal.
Meski terlihat seperti bentuk kasih sayang, tindakan ini justru bisa menjadi bibit korupsi. Si Anak akan belajar bahwa ada jalan mudah untuk mendapatkan hasil tanpa usaha.
Akibatnya, ia tidak terbiasa menghadapi konsekuensi dari usahanya sendiri.
Hal yang seharusnya dilakukan Mama adalah memberi dukungan emosional, membantu si Anak belajar lebih giat, dan mengajarkan bahwa kegagalan adalah bagian dari proses belajar.
Dengan demikian, akan timbul pemahaman yang baik dalam diri si Anak bahwa hasil yang jujur jauh lebih berharga daripada nilai tinggi yang diperoleh dengan cara curang.
2. Orangtua yang sering ikut campur dalam masalah anak

Sering kali, ketika si Anak menghadapi masalah dengan teman, guru, atau lingkungannya, orangtua langsung mengambil alih dan menyelesaikan segalanya.
Tujuan orangtua tersebut mungkin berangkat dari kasih sayang dan kepedulian agar si Anak tidak merasa sedih atau terbebani.
Namun, pola ini bisa menumbuhkan mentalitas kolusi, karena si Anak merasa selalu ada pihak yang bisa mengatur masalah untuknya.
Padahal, kemampuan menyelesaikan konflik sendiri sangat penting bagi perkembangan karakter.
Oleh karena itu, Mama sebaiknya mendampingi si Anak dalam menghadapi masalah, bukan menggantikannya.
Misalnya, Mama bisa memberi si Anak saran bagaimana menghadapi teman yang berselisih paham atau bagaimana meminta maaf.
3. Masuk sekolah favorit dengan jalur khusus

Menyekolahkan si Anak di sekolah favorit tentu menjadi harapan banyak orangtua.
Namun, jika cara yang ditempuh adalah melalui jalur khusus yang melibatkan koneksi, uang tambahan, atau sistem titipan, impian masuk ke sekolah favorit bisa menjadi bibit nepotisme.
Si Anak mungkin akan belajar bahwa akses istimewa bisa diperoleh bukan karena prestasi atau usaha, tetapi karena hubungan orangtua dengan pihak tertentu.
Dalam jangka panjang, hal ini dapat merusak pemahamannya tentang arti keadilan.
Mama sebaiknya menekankan pada si Anak bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama, dan ia perlu berusaha keras untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Dengan begitu, anak akan belajar bahwa prestasi dan kerja keras adalah jalan utama untuk mencapai sesuatu.
4. Membela anak meski salah

Banyak orangtua yang mati-matian membela si Anak meski anaknya telah melakukan kesalahan, seperti berkelahi di sekolah atau tidak mengerjakan tugas.
Awalnya, tindakan ini mungkin dianggap wajar karena kecenderungan alami orangtua yang ingin melindungi si Anak.
Namun, jika terus berulang, si Anak akan terbiasa merasa benar meskipun salah. Bibit kolusi ini bisa tumbuh menjadi kebiasaan buruk di masa depan.
Sebaiknya, Mama bersikap objektif dan mengakui kesalahan si Anak, sambil tetap mendukungnya untuk memperbaiki diri.
Misalnya, jika si Anak malas mengerjakan PR, Mama bisa menjelaskan konsekuensinya dan membantu mencari solusi agar lebih disiplin.
5. Orangtua memberi hadiah pada guru dengan tujuan khusus

Memberikan hadiah pada guru sebenarnya tidak menjadi masalah jika dilakukan dengan tulus sebagai tanda terima kasih.
Namun, jika pemberian tersebut dilakukan oleh orangtua dengan tujuan khusus, misalnya agar si Anak diperlakukan istimewa, maka hal tersebut termasuk praktik korupsi dan nepotisme.
Si Anak bisa menangkap pesan bahwa segala sesuatu bisa dibeli. Hal ini tentunya berbahaya bagi pola pikirnya, karena anak akan menganggap bahwa integritas bukanlah hal yang penting.
Sebagai gantinya, Mama bisa mengajarkan bahwa penghargaan pada guru dapat ditunjukkan dengan sikap hormat, kedisiplinan, dan usaha si Anak untuk berprestasi.
Dengan demikian, si Anak dapat tumbuh dengan pemahaman bahwa pujian dan kehormatan didapat dari sikap dan usaha, bukan dari hasil menyogok.
6. Lebih mengajarkan jalan pintas daripada proses

Di era modern yang serba cepat ini, jalan pintas dalam melakukan segala sesuatu sering dinormalisasikan.
Namun, jika Mama terbiasa memberi kemudahan instan, seperti langsung memberikan jawaban PR atau mengerjakan tugas anak agar cepat selesai, maka si Anak kehilangan kesempatan untuk belajar berproses.
Hal ini juga merupakan bibit korupsi karena mengajarkan anak bahwa tujuan lebih penting daripada usaha.
Padahal, keterampilan memecahkan masalah, berpikir kritis, dan ketekunan hanya bisa tumbuh jika si Anak melewati proses.
Mama bisa mendukung dengan cara menemani belajar, memberi arahan, atau mengajukan pertanyaan pemandu agar si Anak menemukan jawaban sendiri.
7. Mengutamakan orang terdekat dalam aktivitas anak

Nepotisme juga bisa muncul dalam bentuk yang sangat sederhana, misalnya ketika si Anak hanya mau berkelompok dengan teman-teman dekatnya dalam tugas sekolah.
Awalnya terlihat sepele, namun kebiasaan ini bisa menumbuhkan sikap pilih kasih dan tidak adil. Jika dibiarkan, si Anak akan kesulitan bekerja sama dengan orang baru atau menghargai perbedaan.
Mama bisa membantu dengan memberi pemahaman bahwa setiap orang memiliki kelebihan masing-masing, dan bekerja dengan orang berbeda justru bisa menambah wawasan.
Dorong si Anak untuk sesekali berkelompok dengan teman yang belum akrab, sehingga ia belajar menghargai keragaman.
Dengan demikian, si Anak tidak tumbuh dengan pola pikir sempit yang hanya mengutamakan orang dekat.
Itulah 7 bibit korupsi, kolusi, dan nepotisme di kehidupan anak. Yuk, jaga anak mama dari potensi tumbuh menjadi orang dewasa yang tidak bertanggungjawab dengan menerapkan pola asuh yang teratur dan disiplin.



















