Fakta Menarik Baubau yang Jadi Lokasi Syuting Film Komang

Film Komang telah menjadi sorotan di bioskop Indonesia sejak penayangannya pada 31 Maret 2025. Diangkat dari kisah nyata perjalanan cinta musisi dan komedian Raim Laode dengan istrinya, Komang Ade Widiandari, film ini menyajikan cerita yang menyentuh dan penuh makna.
Disutradarai oleh Naya Anindita dan diproduksi oleh Starvision, Komang menggambarkan perjuangan cinta yang harus menghadapi perbedaan keyakinan dan tantangan hidup lainnya.
Dalam film ini, Kiesha Alvaro memerankan Ode, seorang pemuda muslim asal Buton yang bercita-cita menjadi komedian dan musisi. Aurora Ribero berperan sebagai Ade, perempuan Bali yang menjadi cinta sejati Ode. Kisah mereka menggambarkan bagaimana cinta dapat mengatasi perbedaan dan rintangan yang ada.
Film Komang juga sukses mencuri perhatian karena pengambilan latar dari film tersebut berada di sebuah kota bernama Baubau yang terletak di pulau Sulawesi. Film ini juga sukses memperkenalkan keindahan yang dimiliki kota Baubau kepada 1,5 juta penonton sejak penayangannya pada (31/03/2025).
Kali ini Popmama.com akan memberikan informasi seputar fakta menarik Baubau yang jadi lokasi syuting film Komang. Simak informasinya di bawah ini.
1. Sejarah kota Baubau

Kota Baubau memiliki sejarah panjang yang berakar dari Kerajaan Buton, yang berdiri sekitar abad ke-14. Kerajaan ini awalnya merupakan kerajaan bercorak Hindu-Buddha, namun mengalami transformasi besar ketika Raja Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis memeluk Islam pada tahun 1542. Sejak saat itu, kerajaan ini berubah menjadi Kesultanan Buton, yang dikenal sebagai salah satu kesultanan Islam terbesar di kawasan timur Indonesia.
Kesultanan Buton memiliki sistem pemerintahan yang tertulis dan sangat terstruktur, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Sistem ini dikenal sebagai Martabat Tujuh, yang membagi kekuasaan menjadi tujuh lembaga utama, termasuk sultan, perdana menteri, dan dewan adat.
Uniknya, hukum dan pemerintahan di Kesultanan Buton bersumber dari naskah hukum adat tertulis, yang menjadikannya sebagai salah satu bentuk pemerintahan tradisional paling maju pada masanya.
Baubau kemudian berkembang menjadi pusat pemerintahan, ekonomi, dan budaya Kesultanan Buton. Setelah masa kemerdekaan, Baubau terus tumbuh sebagai kota penting di Sulawesi Tenggara, dan resmi menjadi kota otonom pada 21 Juni 2001. Hingga kini, sisa-sisa kejayaan masa lalu seperti Benteng Wolio, rumah adat, masjid tua, dan sistem adat masyarakat masih dapat ditemukan dan menjadi daya tarik utama kota ini.
2. Penulisan nama

Mungkin selama ini banyak orang keliru menuliskan nama kota ini sebagai "Bau-bau", padahal secara resmi penulisannya adalah Baubau, tanpa tanda hubung. Hal ini telah diatur dalam Peraturan Daerah No. 02 Tahun 2010 tentang Penetapan Hari Jadi Kota Baubau dan Perubahan Penulisan Baubau. Perubahan ini dilakukan agar sesuai dengan kaidah penulisan berdasarkan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Kesalahan penulisan nama kota ini memang seolah sepele, tetapi penting dalam konteks identitas daerah. Penulisan yang tepat mencerminkan penghargaan terhadap sejarah dan budaya lokal. Apalagi, Baubau memiliki peran penting dalam sejarah kerajaan dan penyebaran Islam di Indonesia Timur.
3. Punya benteng terluas di dunia

Salah satu daya tarik paling menonjol di Baubau adalah keberadaan Benteng Keraton Buton, yang juga dikenal sebagai Benteng Wolio. Benteng ini juga muncul di dalam film Komang, ketika Ode pertama kali mengajak Ade berjalan-jalan.
Benteng ini bukan hanya sekadar bangunan bersejarah, tetapi juga tercatat dalam Rekor Dunia sebagai benteng terluas di dunia, dengan luas mencapai 23,375 hektare. Pengakuan ini diberikan oleh Museum Rekor Indonesia (MURI) dan Guiness World Records pada tahun 2006.
Benteng ini dibangun di atas Bukit Wolio, dengan ketinggian sekitar 100 meter di atas permukaan laut. Letaknya yang strategis di lereng bukit menjadikan benteng ini sangat ideal sebagai pertahanan kerajaan pada masanya. Arsitekturnya juga sangat unik, karena dindingnya terbuat dari batu gunung dan batu karang yang direkatkan menggunakan putih telur, pasir, dan kapur.
Benteng Wolio memiliki empat pos pengintai, 12 pintu gerbang, 16 bastion atau benteng kecil, serta parit-parit dan ruang penyimpanan senjata. Desainnya yang mengikuti kontur bukit menunjukkan kecanggihan arsitektur tradisional masa lampau. Dindingnya memiliki tinggi rata-rata 8 meter dan tebal 2 meter. Tempat ini menjadi simbol kekuatan dan kearifan lokal Kerajaan Buton.
4. Patung naga ikonik

Selain benteng, salah satu ikon Kota Baubau yang tak kalah menarik adalah Patung Naga Hijau di Pantai Kamali. Patung ini dikenal sebagai Patung Sejuta Legenda karena sarat akan cerita masa lalu. Uniknya, patung naga ini terdiri dari dua bagian: kepala dan ekor, yang terpisah sejauh lima kilometer. Kepala naga berada di Pantai Kamali, sementara ekornya ada di depan Kantor Wali Kota Baubau.
Menurut legenda masyarakat setempat, patung ini merepresentasikan hubungan dagang antara Kesultanan Buton dan kerajaan-kerajaan besar di Tiongkok pada masa lalu. Patung naga menjadi simbol kekuatan ekonomi dan hubungan internasional yang pernah dimiliki Buton. Selain nilai sejarahnya, tempat ini juga menjadi salah satu lokasi wisata favorit karena letaknya yang strategis dan pemandangan laut yang memukau.
5. Ada masjid tertua di Pulau Buton

Baubau juga menjadi rumah bagi Masjid Quba, yang merupakan masjid tertua di Pulau Buton. Dibangun pada tahun 1826 Masehi oleh Sultan Buton ke-29, Muhammad Idrus Kaimuddin, masjid ini awalnya hanya digunakan untuk keperluan ibadah Sultan dan keluarganya. Namun, seiring pertumbuhan jumlah penduduk, masjid ini kemudian dibuka untuk masyarakat umum.
Keunikan Masjid Quba terletak pada bentuk bangunannya yang lebih menyerupai rumah panggung tradisional daripada bangunan masjid pada umumnya. Kubahnya melengkung, dan yang menarik, masjid ini tidak memiliki bedug, mengikuti contoh masjid-masjid di Madinah. Nilai sejarah dan kesederhanaan desain masjid ini memperkuat citra religius masyarakat Baubau.
6. Punya tradisi yang unik

Sebagai kota yang kaya akan sejarah dan budaya, Baubau memiliki berbagai tradisi adat yang masih dijaga hingga kini. Dua di antaranya adalah tradisi Batu Poaro dan ritual Haroana Andala, yang keduanya mencerminkan kedekatan masyarakat Baubau dengan nilai-nilai spiritual, laut, dan sejarah para leluhur.
Batu Poaro
Tradisi Batu Poaro dipercaya berasal dari jejak perjuangan Syekh Abdul Wahid, seorang ulama besar yang menyebarkan Islam di Pulau Buton pada tahun 1526 M. Batu Poaro diyakini sebagai tempat pijakan sang ulama ketika menyeberangi laut. Dalam pelaksanaannya, masyarakat mengarak sesajen dari masjid ke Batu Poaro yang berada di Laut Wameo.
Talang berisi makanan diletakkan di atas batu, lalu tokoh adat, termasuk Wali Kota Baubau, membaca doa bersama warga. Tradisi ini ditutup dengan momen unik ketika anak-anak memperebutkan uang yang telah didoakan di atas batu tersebut.
Haroana Andala
Sementara itu, ritual Haroana Andala, atau yang dikenal sebagai Pesta Laut, merupakan bentuk syukur para nelayan atas limpahan hasil tangkapan ikan. Dipimpin oleh Imam Masjid Bone-bone, tradisi ini diawali dengan pembacaan doa, lalu rakit kecil yang telah dihias diletakkan di atas laut.
Rakit tersebut berisi nasi pulut, ayam, ikan bakar, jajanan tradisional, bahkan rokok sebagai simbol persembahan kepada laut. Setelah itu, para nelayan mengunjungi makam leluhur nelayan untuk berdoa bersama.
Kedua tradisi ini tak hanya memperkuat identitas budaya masyarakat Baubau, tetapi juga menjadi daya tarik wisata budaya yang memikat banyak pengunjung dari luar daerah.
Itulah fakta menarik Baubau yang jadi lokasi syuting film Komang. Dengan kekayaan sejarah, budaya, dan keindahan alam yang luar biasa, Baubau bukan sekadar latar dalam film Komang. Melalui film ini, penonton tak hanya disuguhi kisah cinta yang menyentuh, tetapi juga diajak untuk mengenal lebih dekat sebuah kota di Timur Indonesia yang kaya akan makna dan warisan.








-smZIk0Nsd25hP0vk8SU2HMmOVdRpOAfq.jpg)










