- Merasa jijik yang bisa berujung menjadi amarah;
- Bersikap agresif hingga menyerang orang yang membuat suara;
- Menjadi agresif secara fisik dengan benda-benda tertentu;
- Menjauh dari orang yang kerap menimbulkan suara pemicu kecemasan.
Penanganan Anak dengan Sindrom Misophonia Menurut Psikolog Verauli

Pernahkah anak mama merasa tidak nyaman atau malah kesal mendengar suara orang mengunyah? Atau, dirinya mengeluh merasa terganggu ketika jam di ruang tamu tiba-tiba berdetak?
Jika menemukan anak demikian, bisa jadi si Kecil mengalami sindrom misophonia.
Orang yang mengidap misophonia memiliki sensitivitas berbeda ketika mendengar suara tertentu, seperti suara-suara berfrekuensi tinggi ataupun yang monoton.
Pernah ada satu kejadian, anak dengan misophonia merasa terganggu ketika ada acara di rumahnya. Orangtuanya saat itu sedang bercengkrama dengan para tamu, kemudian anak tersebut berlari ke tengah-tengah dan berteriak, "Stop, stop, stop, diam, jangan berisik semuanya diam!" di depan keluarga besar sambil menjulurkan kedua tangannya ke arah depan.
Seakan anak tersebut benar-benar tidak tahan dengan suara bising yang terdengar di telinganya. Jika sudah begini apa yang perlu orangtua lakukan?
Belum diketahui pasti bagaimana seseorang bisa menderita misophonia. Namun, faktor penyebabnya bisa dilihat melalui aspek biologis maupun psikososial dari orang tersebut.
Lalu, jika anak mengalami kondisi seperti ini, apakah ia bisa sembuh dan kembali normal seperti anak-anak lainnya?
Untuk informasi selengkapnya, yuk simak penjelasannya fakta sindrom misophonia berdasarkan wawancara eksklusif Popmama.com bersama Roslina Verauli, M.Psi., Psi., Psikolog Klinis Anak, Remaja dan Keluarga dari RS Pondok Indah, Pondok Indah.
1. Apa itu misophonia?

Misophonia adalah kondisi apabila seseorang menunjukkan respons tidak biasa, mulai dari kesal hingga cemas, di saat mendengar suara atau bunyi-bunyi tertentu. Merasa sangat tidak nyaman, maka bisa sampai merasa tertekan bahkan marah.
Perlu Mama ingat bahwa misophonia ini bukan sebuah penyakit, ya. Roslina Verauli, atau kerap disapa Mbak Vera, menjelaskan bahwa misophonia belum cocok disebut sebagai sebuah disorder (gangguan), melainkan sekadar sindrom.
"Jadi (dalam sindrom), ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa si individu terganggu atas situasi-situasi tertentu. Nah kalau dalam misophonia, orang tersebut terganggu atas bunyi-bunyian tertentu," jelas Ver
Siapa saja yang umum menderita sindrom ini? Anak mama yang sedang di masa pubertas, atau berumur sekitar 9–12 tahun, sangat mungkin mengalami misophonia. Selain itu, perempuan juga lebih rentan menderita kondisi ini lho, Ma.
2. Gejala orang yang mengalami misophonia

Mereka yang mengidap misophonia mudah dikenali melalui reaksi ekstrem–berupa kemarahan atau kecemasan–ketika mendengar suara spesifik. Lebih tepatnya, penderita sindrom ini menunjukkan gejala seperti:
Tidak hanya secara emosional, penderita juga mengalami sejumlah reaksi fisik lho, Ma. Beberapa di antaranya:
- Tegang otot;
- Tubuh terasa semakin panas;
- Jantung berdegup lebih kencang;
- Tekanan di sekujur tubuh terutama pada dada.
3. Penyebab seseorang mengalami misophonia

Alasan mengapa seseorang bisa menderita misophonia belum diketahui dengan pasti. Anak mama yang berumur dalam rentang 9–12 tahun bisa saja tiba-tiba mengalami sindrom yang satu ini.
Meskipun demikian, Vera menjelaskan bahwa inti masalah yang membuat seseorang mengalami misophonia bisa dilihat dari berbagai aspek. Berikut dua di antaranya:
1. Aspek Biologis
Jika dilihat dari sisi biologis, misophonia bisa terjadi pada seseorang karena dirinya memang memiliki masalah pada sensor auditorinya.
"Jangan-jangan si individunya punya sensitivitas terhadap stimulasi auditori," kata Vera.
Dikarenakan terlampau sensitif (hypersensitive) terhadap suara atau bunyi tertentu, respons yang diberikan pun juga berlebihan.
Pawel J. Jastreboff juga mengungkapkan bahwa misophonia bisa dialami oleh seorang individu karena adanya kemungkinan gangguan pada medial prefrontal cortex pada otak.
Lebih jelasnya, ketika sebuah suara terdengar, gelombangnya akan menggetarkan tulang bagian tengah telinga.
Selanjutnya, suara akan diubah menjadi sinyal elektrik oleh telinga. Nantinya sinyal akan diteruskan ke saraf pendengaran pada otak melalui dua jalur, salah satunya medial prefrontal cortex tersebut.
Bagian otak tersebut memiliki peranan terkait emosi dan interpretasi terhadap suara yang didengar. Nah, apabila ada gangguan pada medial prefrontal cortex, itulah yang membuat reaksi ketika mendengar suara tertentu terkesan ekstrem.
2. Aspek Psikososial
Selain karena ada gangguan dalam tubuh, pemicu munculnya misophonia juga bisa disebabkan oleh faktor psikososial (hubungan antara interaksi sosial dengan kejiwaan).
Vera memberikan contoh seorang anak dengan diathesis (kecenderungan menderita kondisi medis tertentu) berupa kecemasan tinggi yang kebetulan lahir di keluarga disiplin.
Misalnya, setiap si Anak belajar, orangtuanya sengaja meletakkan jam di sisinya. Ia diharuskan agar mampu menyelesaikan PR dengan cepat sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Pastinya, si Anak akan merasa tertekan karena selalu dituntut untuk cepat. Jika ini terus berulang, ia akan otomatis 'belajar' dan mengasosiasikan (mengaitkan) bunyi tik-tok jam dengan kecemasan tertentu.
"Terbentuk proses 'belajar' berupa asosiasi antara bunyi jam dengan kecemasan dan stres tertentu," ujar Vera.
Alhasil, setiap kali anak mendengar bunyi jam, ia akan cemas karena seolah-olah sedang dinilai atau diburu-buru.
Lebih jauh lagi, Vera menjelaskan bahwa bagi individu yang memiliki kecerdasan baik, mereka cenderung melakukan generalisasi atas proses belajar dari lingkungan tadi.
Maksudnya, karena bunyi monoton tik-tok jam anak anggap sebagai sumber stres, lantas dirinya juga akan mengasosiasikan bunyi-bunyi monoton lainnya–seperti bunyi tetesan air atau ketukan pensil–sebagai sumber kecemasan pula.
4. Cara penanganan bagi penderita misophonia
-ec3650b32234eee24fde8be6472dcc4e.png)
Seseorang tidak bisa dikatakan sembuh, ataupun kambuh, karena misophonia bukanlah sebuah penyakit, pun ada obat untuk 'menyembuhkannya'.
"Bukan disembuhkan karena memang bukan penyakit," ucap Vera.
Menurut Vera, istilah yang lebih tepat ialah "tata laksana" untuk membantu meluruskan asosiasi keliru terhadap bunyi-bunyian tertentu.
Nah, untuk cara penanganannya tidak boleh disamaratakan. Dalam hal ini, harus dilihat dahulu aspek penyebab misophonia-nya. Sebagai contoh, jika anak mengalami misophonia dikarenakan aspek biologis, maka tata laksananya bisa dilakukan dengan melatih sensor auditorinya.
Atau, jika misophonia muncul dikarenakan tinnitus (telinga berdengung), maka anak bisa menjalani Tinnitus Retraining Therapy. Dalam terapi tersebut, nantinya toleransi si Anak terhadap kebisingan akan dilatih.
Lain halnya apabila disebabkan oleh faktor psikososial, asosiasi keliru yang diciptakan oleh anak harus dimodifikasi.
Salah satu caranya adalah dengan Cognitive Behavioral Therapy. Melalui terapi ini, anak akan diperdengarkan suara alam untuk mengurangi gejala misophonia.
Selain kedua cara tersebut, misophonia juga bisa ditangani dengan menjumpai psikolog untuk melakukan konseling suportif atau mengubah gaya hidup–seperti rutin berolahraga dan meningkatkan kualitas tidur.
Itulah informasi fakta tentang misophonia, sindrom yang menyebabkan seseorang bereaksi berlebihan terhadap suara tertentu. Semoga bermanfaat, Ma!



















