9 Cara Membesarkan Anak yang Tangguh dan Juga Pengertian

Setiap orangtua tentu ingin anaknya tumbuh menjadi pribadi yang kuat. Anak yang tahan banting saat menghadapi tantangan, tidak mudah menyerah, dan mampu berdiri kembali setelah jatuh. Ketangguhan seperti ini penting untuk menghadapi dunia yang tak selalu ramah.
Namun, ada sisi lain yang sama pentingnya, tapi sering luput: kepekaan hati. Anak juga perlu diajarkan untuk mengenali perasaan orang lain, memahami situasi sosial di sekitarnya, dan menunjukkan empati. Tangguh bukan berarti keras, dan pengertian bukan berarti lemah. Justru keseimbangan keduanya yang akan membentuk karakter anak secara utuh.
Membangun dua kualitas ini sekaligus, ketangguhan dan pengertian, perlu proses yang konsisten, dan dimulai dari hal-hal kecil dalam keseharian.
Berikut ini Popmama.com menjelaskan 9 cara membesarkan anak tangguh dan pengertian yang bisa Mama terapkan. Simak, yuk!
1. Puji usaha mereka dengan cara yang tepat dan pas, bukan hanya melihat hasilnya

Memberikan pujian pada anak itu diperbolehkan ya, Ma. Ashley Soderlund, seorang psikolog perkembangan anak mengatakan,
“Ketika pujian itu tulus maka jangan ragu memberikannya, karena pujian yang nyata terbukti meningkatkan motivasi anak.”
Tapi yang terpenting, fokuslah pada proses, bukan hasil akhir. Rayakan momen-momen kebahagiaan yang muncul dari dalam, baik dari anak maupun orangtua, karena itulah bentuk apresiasi yang paling tulus.
Saat memberikan pujian, cobalah untuk menyoroti sifat-sifat seperti kebaikan, keberanian, atau kejujuran yang dilakukan anak. Dengan begitu, anak akan belajar bahwa nilai-nilai inilah yang penting dan layak dijaga, bukan hanya pada pencapaian.
Namun perlu diingat, jika anak belum melakukan kebaikan dengan tepat maka ajak ia untuk terbiasa melakukan hal baik. Lakukan terus-menerus hingga menjadi rutinitas dan gaya hidup.
Boleh memuji kerja keras anak, tanpa melebih-lebihkan.
2. Biarkan mereka gagal sesekali agar belajar bangkit

Sering kali kita mendorong anak dengan kata-kata seperti “Jangan menangis. Jangan menyerah. Coba lebih keras.” Jangan diulangi ya, Ma. Ini bisa mengabaikan perasaan anak yang sebenarnya.
Kegagalan memang menyakitkan, tapi melindungi anak dari kegagalan justru menghilangkan kesempatan mereka untuk berkembang.
Anak yang diperbolehkan merasakan kekecewaan belajar lebih dari sekadar bangkit kembali; mereka belajar mengelola emosi, mengevaluasi strategi, dan memulai kembali dengan cara yang lebih baik. Kemampuan ini adalah hal penting yang sering terabaikan.
3. Jadi model yang baik contohkan kebaikan

Anak belajar dari apa yang mereka lihat. Cara kita berbicara kepada anak akan membentuk dialog internal mereka. Jika orangtua sering mengingatkan bagaimana pentingnya memperhatikan perasaan orang lain, anak-anak juga akan mengaplikasikannya, terutama dalam mengontrol tuturannya.
Meskipun anak di bawah usia 3-4 tahun belum sepenuhnya bisa memahami pikiran orang lain, mengajarkan mereka tentang perasaan orang lain dengan kata-kata yang lembut membantu perkembangan otak mereka dan membiasakan mereka untuk peduli terhadap sesama ketika otaknya sudah berkembang lebih matang.
4. Buat aturan dengan sabar dan konsisten, jangan terlalu keras dalam disiplin

Meski anak sering mengeluh soal aturan, bukan berarti mereka tidak membutuhkannya. Jillian Amodio, seorang advokat kesehatan mental, menjelaskan bahwa anak-anak berkembang baik saat mereka tahu dengan jelas apa yang diharapkan dan apa yang dilarang darinya.
Untuk menghindari konflik terutama dengan anak yang keras kepala, buatlah batasan yang mudah dimengerti dan konsisten. Rutinitas dan struktur memberi anak rasa kontrol karena mereka tahu apa yang akan terjadi.
Selain itu, jelaskan juga konsekuensi yang logis dan alami dari pelanggaran aturan, dan tuliskan aturan tersebut agar mudah diingat.
5. Tekankan pentingnya membantu orang lain

Dr. Holly Ruhl, psikolog behaviorisme, menjelaskan bahwa respon positif terhadap bantuan anak pada awalnya akan mendorong mereka untuk lebih sering membantu. Respon positif ini contohnya berupa pujian
Namun seiring anak makin terampil, pujian itu dapat dibatasi agar keinginan membantu mereka tetap datang dari hati, bukan karena mengharap imbalan.
Anak-anak bisa dilibatkan membantu pekerjaan rumah seperti menyapu lantai, memasukkan pakaian ke mesin cuci, menata meja, merapikan mainan, ikut berpakaian, atau mengambil barang yang dibutuhkan untuk melatih kepekaannya.
6. Biarkan anak membuat keputusan sendiri sesuai dengan usianya

Alana Carvalho, penulis Raising Empowered Children, menekankan pentingnya memberi anak suara dan ruang untuk mengambil keputusan agar mereka merasa berdaya.
Meskipun orangtua ingin tetap mengontrol, anak juga ingin merasa punya kendali atas hidupnya. Kontrol ini bisa diberikan untuk hal-hal kecil seperti misalnya “Kamu bisa pakai sepatu sendiri, tapi kita sudah terlambat. Mau cepat atau butuh sedikit bantuan?”
Dengan ini, Mama tidak langsung memaksanya memakai sepatu, tetapi memberikan mereka agensi untuk melakukannya sendiri lebih dulu.
7. Ajarkan mereka untuk selalu jujur meski terkadang jujur itu sulit

Anak-anak sering diajarkan untuk tidak berbohong. Namun dalam praktiknya, kejujuran bisa terasa sulit, terutama jika berkata jujur justru membuat mereka dimarahi atau dihukum. Di sinilah nilai kejujuran benar-benar diuji.
Misalnya, ketika anak mengaku memecahkan gelas, dan ia langsung dimarahi, ia mungkin berpikir bahwa jujur itu tidak aman. Tapi jika kejujurannya justru dihargai, meskipun tetap ada konsekuensi, anak akan belajar bahwa bersikap jujur lebih penting daripada sekadar membuat orang lain senang.
Dengan cara ini, anak memahami bahwa integritas artinya berani berkata benar meskipun itu tidak mudah. Pelajaran ini, jika konsisten ditanamkan, akan membentuk karakter yang kuat hingga dewasa.
8. Hargai kekuatan sekaligus sisi lembut emosi anak, secara seimbang

Dr. Tovah Klein, psikolog behaviorisme dan penulis How Toddlers Thrive, mengatakan bahwa respon penuh kasih kepada kebutuhan anak membantu mereka percaya bahwa ada yang selalu merawat mereka, bahkan saat kesulitan.
Interaksi hangat ini membentuk rasa percaya diri dan menunjukkan pada anak bagaimana merawat orang lain. Ini adalah fondasi bagi anak yang percaya diri dan penuh kasih sayang.
9. Ingatkan bahwa menjadi baik bukan berarti lemah, tapi bijaksana

Banyak orang menganggap bahwa bersikap baik atau lembut adalah tanda kelemahan. Padahal, justru dibutuhkan keberanian dan kebijaksanaan untuk tetap bersikap baik, terutama saat menghadapi situasi yang sulit, termasuk saat menghadapi kesalahan anak.
Rebecca Eanes, penulis dan ahli positive parenting, menyampaikan pandangan seperti ini:
“Saya bisa berbuat salah. Anak-anak saya juga akan berbuat salah. Ini tidak membuat pilihan buruk mereka benar, tapi membuatnya bisa dimengerti dan memberi kita semua kesempatan untuk tumbuh.” jelasnya.
Menjadi baik bukan berarti harus sempurna atau selalu benar. Justru, orang yang baik adalah mereka yang sadar akan kekurangan dirinya, namun tetap berusaha memperbaiki diri.
Dengan memahami bahwa anak juga akan melakukan kesalahan, kita bisa lebih siap untuk mendampinginya belajar dari pengalaman itu, bukan hanya menghukum atau menyalahkan.
Ketika anak berbuat salah, tugas orangtua bukan hanya memberi koreksi, tapi juga membantu mereka memahami mengapa itu salah dan bagaimana memperbaikinya. Di sinilah ruang untuk belas kasih (compassion) dan pengertian menjadi penting.
Anak yang diperlakukan dengan kasih sayang saat ia gagal, akan lebih mudah belajar dan membangun karakter yang kuat, tanpa takut mencoba lagi.
Dengan cara ini, anak belajar bahwa menjadi orang baik bukan berarti selalu menyenangkan semua orang atau menghindari konflik, tapi berani bersikap adil, jujur, dan bertanggung jawab, termasuk terhadap dirinya sendiri.
Itu dia, Ma 9 cara besarkan anak tangguh dan pengertian. Apakah Mama sudah pernah mencoba menerapkannya?