Tumbuhkan Empati, 6 Kebiasaan untuk Melatih Inteligensi Emosi Anak

Masa kanak-kanak adalah fondasi penting bagi kesehatan mental seseorang di masa dewasa. Jika sejak dini anak-anak mampu mengenali dan mengelola emosinya, mereka berpeluang tumbuh menjadi pribadi yang lebih sehat secara emosional.
Mengungkapkan apa yang dirasakan adalah kunci kemampuan komunikasi yang baik. Kemampuan seperti ini menunjukkan tingginya kecerdasan emosi. Kemampuan ini akan membuat hubungan sosial menjadi lebih sehat dan risiko gangguan mental menjadi ebih rendah.
Sebuah studi tahun 2015 yang diterbitkan dalam Journal of Applied Developmental Psychology menemukan bahwa keterampilan kecerdasan emosi pada anak-anak berkaitan dengan tingkat kecemasan, depresi, dan agresi yang lebih rendah. Semakin cerdas seorang anak dalam meregulasi emosinya, semakin rendah pula kecemasan yang ia alami.
Tak hanya itu, studi tahun 2016 dalam Emotion Review juga menegaskan bahwa kecerdasan emosi dapat ditingkatkan melalui program edukasi yang melibatkan peran aktif orangtua dan guru dalam membicarakan perasaan kepada anak.
Maka dari itu, dalam artikel ini Popmama.com akan mengulas 6 kebiasaan penting yang bisa dilakukan orangtua untuk menumbuhkan kecerdasan emosi pada anak. Yuk, baca sampai selesai dan mulai terapkan, Ma!
1. Bantu anak memahami bahwa emosi itu penting

Anak tidak bisa mengelola sesuatu yang belum mereka pahami. Karena itu, langkah pertama dalam membangun kecerdasan emosi adalah membantu mereka mengenali dan mengungkapkan apa yang sedang mereka rasakan.
Ketika anak mampu mengatakan, “Aku sedih,” atau “Aku kesal,” mereka akan lebih mudah mengekspresikan emosi dengan cara yang tepat. Bukan lewat tangisan atau ledakan kemarahan yang sulit dikendalikan.
Gunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami dalam percakapan sehari-hari. Misalnya, dengan bertanya, “Kamu kelihatan kesal, ada yang membuat kamu tidak nyaman?”
Mama juga bisa menggunakan alat bantu visual yang menggambarkan emosi, agar anak dapat menunjuk saat kesulitan mengungkapkan dengan kata-kata.
Kegiatan membaca buku bersama juga bisa menjadi momen belajar yang menyenangkan. Setelah menceritakan mereka mengenai isi buku, coba tanyakan, “Menurut kamu, karakter ini sedang merasa apa, ya?”
Semakin kaya kosakata emosinya, semakin mudah bagi anak untuk menyampaikan perasaan tanpa kebingungan atau frustrasi. Ini menjadi fondasi penting untuk membangun komunikasi yang sehat sejak dini.
2. Ajarkan anak untuk tidak malu mengungkapkan perasaan

Tidak ada anak yang langsung ahli mengelola emosi. Selama masa tumbuh kembang, akan ada naik-turun dalam cara mereka merespons perasaan. Karena itu, biasakan membicarakan emosi dalam kehidupan sehari-hari. Katakan bahwa menangis itu wajar, begitu pula merasa marah atau kecewa.
Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mewujudkan ini. Contohnya melalui diskusi. Diskusikan emosi tokoh yang Mama baca bersama dengan anak lewat buku atau film.
Ajak anak memikirkan solusi yang lebih baik saat ada konflik atau bagaimana cara memperlakukan orang lain dengan lebih baik.
Gunakan kesalahan anak sebagai momen belajar. Misalnya, ketika mereka menyakiti perasaan orang lain, ajak mereka berefleksi: apa yang bisa mereka lakukan untuk memperbaikinya? bagaimana mereka harus bertindak ketika mengalami hal itu di kehidupan nyata?
3. Segera pulihkan hubungan setelah berkonflik

Sebagai manusia, mustahil bagi kita untuk memendam terus emosi dalam-dalam. Mengeluarkannya dengan marah atau menangis adalah wajar. Yang penting adalah bagaimana kita memperbaiki hubungan dengan orang-orang di sekitar kita setelahnya.
Ketika Mama sedang merasa lelah lalu menjadi cepat marah pada anak, itu wajar. Yang penting, Mama menyampaikan permintaan maaf kepada mereka, menjelaskan apa yang Mama alami dan membangun kembali koneksi dengan anak.
Dengan melihat itu, anak belajar bahwa emosi tidak harus ditahan atau disembunyikan. Yang penting adalah berani mengakuinya dan bertanggung jawab setelahnya. Ini mengajarkan mereka tentang empati, pentingnya menjaga hubungan, dan pemulihan emosi yang sehat.
4. Hindari mendidik anak lewat rasa takut

Anak yang patuh karena takut, bukan karena mengerti, justru berisiko mengalami kesulitan mengelola emosi. Mereka mungkin tumbuh dengan menekan perasaan atau justru merespons dengan kecemasan dan kemarahan yang tidak sehat.
Alih-alih menakut-nakuti, ajak anak memahami alasan di balik dibuatnya aturan. Bantu mereka mengerti bahwa marah dan kecewa adalah perasaan yang sah, tapi yang penting adalah bagaimana kita mengekspresikannya dengan bijak dan sadar akan kondisi di sekitar.
5. Ajarkan cara mengelola emosi

Setelah anak berhasil memahami emosi mereka, langkah selanjutnya adalah mengajarkan mereka cara menanganinya dengan sehat dan tidak merugikan orang lain. Mulai dari menenangkan diri saat marah, hingga memberi semangat pada diri sendiri saat sedih. Semuanya bisa dilatih.
Ajak mereka untuk belajar bermeditasi. Ajarkan teknik pernapasan sederhana: tarik napas lewat hidung dan hembuskan lewat mulut seperti meniup gelembung. Teknik ini membantu anak meredakan emosi sambil juga melatih kesadaran tubuh mereka.
6. Jadilah contoh baik bagi anak

Anak belajar paling efektif dari apa yang mereka lihat. Jadi, tunjukkan bagaimana Mama dan Papa mengenali dan mengekspresikan emosi. Ceritakan pengalaman pribadi Mama dan Papa saat makan bersama.
Misalnya, “Tadi Mama sempat kesal di kantor, tapi Mama ambil waktu sebentar buat tenangin diri.”
Bagaimanapun, penting untuk terus mengingatkan anak bahwa mengekspresikan emosi pun ada batasnya. Marah boleh, tapi jika marah itu harus diekspreksikan dengan berteriak atau merusak barang, berarti cara itu tidak bisa diterima.
Anak akan meniru bagaimana orangtuanya mengekspresikan perasaan dengan cara yang tepat.
Nah, Ma, itu dia 6 kebiasaan penting yang bisa dilakukan orangtua untuk menumbuhkan kecerdasan emosi pada anak. Lewat kebiasaan-kebiasaan ini, Mama dan Papa tak hanya membantu anak mengenali emosinya, tapi juga belajar mengasah kecerdasan emosi dalam peran Mama dan Papa sendiri sebagai orangtua.