Anak Suka Berbohong? Kenali Apa Itu Mitomania dan Cara Pencegahannya

“Bukan aku yang ambil uangnya, Ma,” bohong lagi, bohong lagi. Apakah Mama sering kali resah dengan anak remaja yang berulang kali bohong meski sudah diberikan kesempatan?
Kebohongan kecil itu dimulai dengan uang receh kembalian yang diambil tanpa izin, sampai berkembang menjadi kebohongan yang lebih besar seperti berani keluyuran sembarangan. Tahun ke tahun, alasannya itu-itu saja seolah ada pola yang mengkhawatirkan dari kebohongan-kebohongan mereka. Rasanya Mama sudah sampai di titik tidak bisa lagi percaya dengan perkataan anak.
Memang, sebagai orang tua, sungguh menantang membimbing anak untuk memahami pentingnya kejujuran. Tapi bagaimana apabila kebohongan yang berulang itu sebenarnya gejala dari symptom mitomania?
Eh, tapi mitomania itu apa sih? Nah, Ma, simak artikel Popmama.com berikut ini untuk tahu apa itu mitomania dan cara pencegahannya, yuk!
Apa itu mitomania?

Mitomania, atau yang juga dikenal sebagai pathological lying, memiliki nama ilmiah pseudologia fantastica. Ini adalah kondisi symptom psikologis yang ditandai dengan kebiasaan berbohong secara terus-menerus dan tidak terkendali.
Orang yang mengalami mitomania cenderung berbohong secara berlebihan; tidak hanya menyembunyikan kebenaran, tapi juga menciptakan cerita-cerita fantastis yang dibesar-besarkan atau bisa jadi sepenuhnya tidak benar.
Kebohongan ini bisa mencakup banyak hal, tidak terbatas pada ranah personal saja.
Yang membuat mitomania berbeda dari kebohongan biasa adalah, penderitanya sering kali benar-benar percaya pada kebohongannya sendiri. Mereka akan merasa kesulitan membedakan mana yang nyata dan mana yang mereka karang.
Jika kebohongan biasa umumnya dilakukan secara sadar, disengaja, dan memiliki tujuan tertentu (seperti menghindari hukuman dari orangtua, mencari simpati, atau karena ingin mendapatkan sesuatu), mitomania tidak selalu seperti itu.
Penderitanya biasanya tidak punya niat jelas untuk menipu, karena symptom ini terdorong oleh tekanan psikologis yang kuat untuk terus menciptakan cerita palsu. Penderita bahkan tidak sadar bahwa dirinya berbohong.
Ciri-ciri penderita mitomania

Penderita mitomania biasanya menunjukkan gejala-gejala yang cukup mudah dikenali. Mereka sering berbohong dalam hal-hal sepele, sederhana mengenai kegiatan sehari-hari dan tidak dapat diketahui motifnya mengapa mereka berbohong.
Kebohongan yang mereka ceritakan sering kali sangat detail, tersusun dengan baik, dan konsisten. Mereka cenderung lebih sering berbohong saat berada dalam kondisi cemas atau stres tinggi.
Cerita yang disampaikan sering dibesar-besarkan, dibumbui, dan berubah-ubah tanpa alasan yang jelas. Uniknya, mereka umumnya mempercayai kebohongannya sendiri dan tidak menyadari bahwa yang mereka katakan tidak benar.
Ketika terus ditanyai mengenai kebohongan itu dan pendiriannya mulai goyah, penderita akan menciptakan kebohongan lainnya yang memperkuat kebohongan sebelumnya. Dramatisasi cerita, menempatkan dirinya sendiri selalu sebagai tokoh utama.
Kebohongan biasa umumnya mudah dideteksi dengan sikap menyesal atau rasa bersalah yang ditampakkan setelahnya atau kemarahan yang timbul setelah kebohongan itu ketahuan. Namun, penderita mitomania sama sekali tidak menunjukkan reaksi fisik atau sikap seperti ini.
Bisakah terjadi pada anak?

Saat ini belum ada penelitian ilmiah yang secara spesifik menjelaskan kelompok usia mana yang lebih rentan mengalami mitomania.
Namun, gejala ini kemungkinan besar dapat muncul sejak masa kanak-kanak, terutama jika anak mengalami berbagai guncangan atau trauma di usia dini yang berdampak pada rendahnya rasa percaya diri (self-esteem).
Penyebab mitomania pada anak

Peristiwa yang terjadi di masa kecil merupakan faktor utama yang berperan dalam perkembangan mitomania. Peristiwa traumatis seperti kekerasan fisik, riwayat ditelantarkan, atau kehilangan seseorang yang tersayang dapat memicu anak untuk mulai berbohong sebagai bentuk perlindungan dirinya terhadap ‘serangan’ dari luar itu.
Bagi mereka, kebohongan menjadi bagian dari respons bertahan hidup karena dapat memberikan rasa aman bagi mereka. Rasa aman itu diciptakan dengan merancang dunia utopis tempat mereka memiliki kendali penuh atas hidupnya – dan dunia fantasi itulah yang mereka karang.
Selain trauma, pola asuh dan lingkungan keluarga juga sangat memengaruhi. Dalam keluarga yang orang tuanya sering berbohong, anak-anak cenderung meniru perilaku tersebut.
Begitu pula dalam keluarga di mana anak-anak sering diabaikan atau tidak dipedulikan, mereka akan lebih sering berbohong sebagai cara untuk menarik perhatian atau membuat diri mereka tampak lebih istimewa.
Faktor lain yang tidak kalah penting adalah pola parenting yang tidak konsisten. Ketika lingkungan keluarga membentuk kebiasaan bahwa berbohong adalah cara untuk menghindari hukuman atau mengurangi ketegangan dalam keluarga, anak akan melihat kebohongan sebagai hal yang normal untuk bertahan hidup.
Dalam kondisi seperti ini, kebohongan dipandang bukan lagi sebagai kesalahan, tetapi menjadi cara untuk menjaga citra keluarga agar tetap terlihat “baik-baik saja.”
Tekanan dari luar keluarga pun bisa ikut memengaruhi. Dalam budaya atau masyarakat yang sangat menekankan pencapaian, kesuksesan, dan status sosial, seseorang bisa merasa terdorong untuk berbohong demi memenuhi harapan/ekspektasi tersebut.
Pencapaian, keterampilan, dan pengalaman yang mereka karang ditujukan untuk mendapat pengakuan serta kekaguman dari orang lain.
Bagaimana membedakan anak yang berbohong dengan penderita mitomania

Penting diketahui bahwa berbohong itu hal normal. Setiap anak pasti pernah berbohong dan itu wajar. Faktanya, penelitian dalam International Neuropsychiatric Disease Journal pada 2015 menunjukkan bahwa hampir semua orang pernah mengatakan “kebohongan putih” (white lies) satu atau dua kali sehari.
Biasanya, kebohongan ini tidak bertujuan untuk menyakiti siapa pun, melainkan untuk menghindari konflik kecil atau menjaga perasaan orang lain. Tapi, bagaimana membedakan kebohongan biasa dengan gejala mitomania?
Ada beberapa hal yang bisa Mama perhatikan: frekuensi, kesadaran, motivasi, dan reaksi saat kebohongan terungkap. Anak yang berbohong biasa umumnya tahu bahwa mereka sedang berbohong, dan sering kali punya alasan atau tujuan tertentu yang rasional bila kita pikirkan.
Misalnya, anak berbohong agar tidak dimarahi atau supaya terlihat lebih keren di depan teman. Normalnya, saat kebohongan mereka ketahuan, biasanya muncul rasa bersalah, malu, atau takut dalam raut wajah mereka.
Berbeda dengan penderita mitomania. Mereka berbohong terus-menerus, bahkan untuk hal-hal sepele yang tidak perlu dibohongi. Yang mengkhawatirkan, mereka tidak selalu sadar bahwa yang mereka katakan adalah kebohongan, karena sering kali mereka sendiri percaya penuh pada cerita yang mereka buat.
Kebohongan dalam mitomania bersifat kompulsif, artinya muncul secara impulsif dan sulit dikendalikan.
Bagaimana cara mencegah mitomania?

Mitomania, seperti yang telah disebutkan, adalah kondisi mental yang tidak sehat dan dapat menjadi kronis seiring waktu, dan sangat dimungkinkan membuat penderitanya menjadi sering membayangkan kehidupannya di atas kebohongan dan dunia yang palsu di pikirannya.
Meskipun ada beberapa ciri dan gejala yang umum di antara orang-orang yang berbohong, perlu diingat bahwa ini adalah symptom yang mungkin menjangkiti semua umur.
Mitomania sering kali dipicu oleh masalah kesehatan mental lainnya, seperti gangguan kepribadian antisosial, gangguan kepribadian narsistik, gangguan pengendalian impuls, dan sebagainya.
Oleh karena itu, penting bagi Mama untuk menjauhkan anak dari hal-hal yang dapat memicu trauma dan turunnya self-esteem. Rutin membawa anak ke konselor bisa menjadi langkah yang baik agar beban mental anak selalu bisa tersalurkan.
Solusi yang bisa dilakukan

Ketika penderita mitomania dihadapkan pada kebohongannya, sebagian dari mereka akan semakin tenggelam dalam kebohongan, sementara yang lainnya akan memilih untuk mengatakan yang sebenarnya.
Tidak jarang mereka mengalami serangan kecemasan yang begitu berat hingga memerlukan intervensi medis.
Meskipun perawatan psikologis sangat penting, mitomania tetap sulit untuk diobati karena penyebab yang memicunya sering kali terlalu menyakitkan dan terpendam.
Selain itu, pasien jarang sekali yang secara aktif mencari bantuan. Permintaan bantuan biasanya datang dari orang-orang di sekitar mereka yang merasa kewalahan dengan kondisi tersebut.
Terlebih pada kasus anak-anak. Pengobatan tentu hanya akan efektif jika penderita bisa konsisten menjalani perawatan psikologis.
Jadi, Ma, tulisan di atas cukup lengkap menjabarkan apa itu mitomania dan cara pencegahannya, bukan?
Sekarang, coba perhatikan anak remaja mama. Apakah kata-katanya hanya sekadar kebohongan biasa atau ada pola yang mengkhawatirkan?