Baca artikel Popmama lainnya di IDN App
For
You

7 Bahaya Eksploitasi Anak Menjadi Influencer, Predator Mengintai

kids influencer
Freepik
Intinya sih...
  • 90% audiens konten child influencers adalah laki-laki dewasa, berpotensi memunculkan bahaya eksploitasi dan penyimpangan.
  • Anak-anak influencer mengalami tekanan tuntutan yang berlebihan dan kehilangan masa kanak-kanak secara alami.
  • Komersialisasi masa kecil, krisis identitas, kehilangan jati diri, dan minimnya perlindungan hukum adalah ancaman bagi anak-anak yang menjadi influencer.

Di era digital saat ini, tak sedikit anak-anak yang sudah dikenal publik sejak usia dini berkat konten di media sosial. Mereka disebut sebagai kid influencer atau influencer anak yang biasanya adalah anak-anak berusia di bawah 16 tahun. 

Sayangnya, di balik konten-konten menghibur yang ditampilkan anak, tersimpan sisi gelap yang tidak disadari para orangtua. Hal tersebut sempat disinggung oleh film dokumenter terbaru Netflix berjudul Bad Influence: The Dark Side of Kidfluencing

Berikut Popmama.com siap membahas lebih lanjut terkait bahaya eksploitasi anak menjadi influencer

Film Bad Influence: The Dark Side of Kidfluencing

Bad Influence bercerita tentang Piper Rockelle yang menjadi kid fluencer bersama teman-temannya dengan sebutan ‘The Squad’. Tanpa disadari, mereka dieksploitasi oleh salah satu orangtua dari tim mereka. 

Piper bersama teman-temannya kerap disuruh membuat konten tanpa henti. Bahkan, mereka juga disuruh melakukan adegan-adegan yang tidak pantas dilakukan oleh anak-anak. 

Tak hanya dieksploitasi, mereka juga dimanipulasi serta dilecehkan secara mental, fisik, dan juga seksual. Dokumenter ini menyoroti fakta bahwa kid fluencing sangat berbahaya untuk anak-anak. 

Mantan anggota ‘The Squad’ dan orangtuanya memberikan kesaksian nyata tentang kondisi kerja tak beraturan, jam syuting berlebihan, dan kurangnya bayaran yang diberikan. 

Bahaya Eksploitasi Anak Menjadi Influencer

1. Konten anak berpotensi memberi ‘makan’ para predator digital

kids influencer
Freepik/freepik

Sebuah riset yang dilakukan oleh media asal Amerika Serikat mengungkapkan fakta bahwa sekitar 90% audiens dari konten yang dibuat oleh child influencers ternyata adalah laki-laki dewasa.

Angka ini tentu menimbulkan kekhawatiran mendalam karena menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara target konten dan demografi penontonnya.

Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar mengenai motif konsumsi konten tersebut. Ketertarikan laki-laki dewasa terhadap tayangan anak-anak berpotensi mengarah pada bahaya eksploitasi dan penyimpangan. 

Tanpa pengawasan yang ketat, media sosial bisa menjadi ruang yang tidak aman bagi anak. Konten yang ditampilkan anak berpotensi dimanfaatkan untuk tujuan yang tidak semestinya.

2. Tuntutan yang terlalu besar untuk usia anak

kids influencer
Freepik/freepik

Pada awalnya, anak-anak mungkin terlihat senang saat aktivitas sehari-harinya direkam dan dibagikan ke media sosial. Mereka menikmati perhatian, pujian, dan momen kebersamaan dengan keluarga. 

Namun, ketika kegiatan tersebut bisa berubah menjadi rutinitas yang penuh tuntutan, seperti harus tampil ceria setiap hari, merekam ulang jika ada kesalahan, atau memenuhi jadwal endorsement

Perlahan, mereka mulai kehilangan esensi bermain yang alami bagi dunia anak. Proses ini secara perlahan dapat membuat anak lelah secara emosional dan mental. 

Secara naluriah, anak belum siap menjalani aktivitas yang menyerupai pekerjaan profesional dengan tekanan dan ekspektasi tinggi. 

Inilah mengapa konsep child labor atau pekerja anak sangat dilarang di berbagai negara. Sebab, masa kanak-kanak seharusnya menjadi fase tumbuh dan berkembang, bukan bekerja. 

Jika tekanan tersebut terus dibiarkan, ada risiko gangguan perkembangan, kehilangan masa kecil, bahkan munculnya trauma jangka panjang. Fenomena ini menegaskan pentingnya batasan dan perlindungan hukum bagi anak-anak yang terlibat dalam dunia digital.

3. Banyak hak anak yang dirampas untuk keperluan konten media sosial

kids influencer
Freepik/freepik

Di balik layar kehidupan anak yang ditampilkan secara terus-menerus di media sosial, sering kali terdapat berbagai hak dasar anak yang terabaikan. 

Hak atas privasi, hak untuk tumbuh dan berkembang secara alami, hingga hak untuk memilih jejak digital mereka sendiri menjadi hal yang kerap dikorbankan demi konten dan eksistensi di dunia maya. 

Anak-anak yang belum memahami dampak jangka panjang dari eksposur digital pun tidak memiliki kendali atas bagaimana wajah, suara, dan kehidupan pribadi mereka digunakan dan disebarluaskan.

Dampaknya tidak bisa dianggap sepele. Ketika sejak kecil anak telah kehilangan ruang pribadi dan selalu berada dalam sorotan publik, mereka bisa kesulitan membentuk jati diri secara utuh. 

Rasa cemas, tekanan untuk terus tampil sempurna, dan tidak adanya ruang untuk gagal bisa meninggalkan luka psikologis yang dalam. 

4. Komersialisasi masa kecil

kids influencer
Freepik/freepik

Saat anak menjadi influencer, tak jarang kehidupan mereka diperlakukan layaknya ‘brand’ yang harus dijual. Mulai dari endorsement produk, promosi acara, hingga konsep konten harian, semuanya diarahkan untuk menarik keuntungan finansial.

Akibatnya, masa kecil anak perlahan berubah menjadi ajang komersial, bukan lagi ruang eksplorasi bebas dan belajar yang seharusnya mereka nikmati. 

Ketika nilai diri anak mulai dikaitkan dengan jumlah likes, viewers, dan pendapatan, si Kecil bisa tumbuh dengan pemahaman keliru bahwa keberhargaan diri bergantung pada validasi eksternal. 

Komersialisasi ini tidak hanya merugikan sisi emosional anak, tetapi juga bisa menormalisasi bahwa kerja dan eksposur adalah hal biasa sejak kecil. 

5. Krisis identitas dan kehilangan jati diri

kids influencer
Freepik/prostooleh

Sejak kecil, anak-anak influencer kerap disuruh tampil dengan kepribadian tertentu yang disukai audiens, baik itu lucu, kalem, atau pintar. Padahal, kepribadian anak masih berkembang dan seharusnya dieksplorasi tanpa tekanan. 

Jika terus-menerus memainkan ‘peran’ yang bukan dirinya, anak bisa kehilangan koneksi dengan jati dirinya yang sebenarnya. Saat remaja atau dewasa nanti, mereka kemungkinan mengalami krisis identitas. 

Anak akan merasa bingung dengan siapa diri mereka sebenarnya karena sejak kecil sudah dibentuk oleh keinginan orang lain. Hal ini bisa menyebabkan ketidakstabilan emosional, rasa rendah diri, hingga kesulitan membangun relasi sosial yang sehat.

6. Kehilangan masa kanak-kanak

kids influencer
Freepik/freepik

Setiap anak sudah sepatutnya menjalani masa kecil dengan bermain, belajar, dan berinteraksi tanpa beban. Namun, ketika mereka menjadi influencer, waktu bermain bisa tergantikan dengan syuting, edit konten, atau jadwal endorsement

Hidup anak diatur layaknya ‘pekerja’ kecil dalam industri hiburan digital. Kondisi ini membuat anak melewatkan pengalaman tumbuh kembang yang tentu tidak bisa terulang lagi.

Kurangnya waktu bermain bebas atau interaksi spontan bisa menghambat perkembangan sosial dan emosional mereka. Anak bisa tumbuh terlalu cepat secara mental, namun kehilangan aspek penting dalam proses pendewasaan yang seharusnya berlangsung alami.

7. Tidak ada perlindungan hukum yang memadai

kids influencer
Freepik/freepik

Berbeda dengan industri hiburan formal yang memiliki regulasi ketat, dunia media sosial masih minim perlindungan untuk anak-anak yang bekerja sebagai influencer

Tidak ada batas jam kerja, tidak ada jaminan finansial untuk masa depan anak, dan belum ada pemisahan antara penghasilan anak dan kebutuhan keluarga.

Akibatnya, banyak anak yang sebenarnya bekerja, tetapi tidak diakui sebagai pekerja secara hukum. Mereka tidak memiliki jaminan sosial, perlindungan psikis, atau hak atas pendapatan yang dihasilkan. Hal ini membuka celah eksploitasi ekonomi yang dapat merugikan anak dalam jangka panjang.

Demikian pembahasan mengenai bahaya eksploitasi anak menjadi influencer serta film Bad Influence yang memberikan gambaran pada bahaya tersebut. Bagaimana menurut Mama?

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Novy Agrina
EditorNovy Agrina
Follow Us