Ini 6 Risiko yang Mengancam Keselamatan Akibat Pernikahan Usia Dini

Orangtua harus berpikir, anak harus lebih baik dari orangtuanya

1 September 2020

Ini 6 Risiko Mengancam Keselamatan Akibat Pernikahan Usia Dini
Freepik

Menurut catatan Kementerian PPPA, Indonesia menduduki peringkat tertinggi nomor 7 di dunia untuk kasus pernikahan anak dan kedua di ASEAN. Undang-undang Perkawinan telah mengatur usia layak menikah namun pada kenyataannya, banyak anak, baik laki-laki atau perempuan yang masih berusia Sekolah Dasar sudah dinikahkan oleh orangtuanya.

Miris mengetahui fakta angka pernikahan di usia anak.

Padahal peran utama bisa digawangi oleh adanya kelekatan antara orangtua dan anak pada setiap keluarga. Ada yang kurang pada proses pendekatan, edukasi mengenai fungsi alat reproduksi, fungsi organ intim, dan pemantauan pada pergaulan anak dari orangtua.

Selain itu, banyak juga penyebab lainnya seperti kemiskinan yang membatasi pendidikan orangtua, kultur atau kebudayaan setiap suku yang berbeda-beda, dan pemahaman serta pengarahan dari pemerintah.

Ditemui pada acara Media Talk di kantor Kementerian PPPA, Rohika Kurniadi Sari SH, Msi selaku Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak Atas Pengasuhan Keluarga dan Lingkungan mengutarakan beberapa risiko yang bisa terjadi pada anak karena terjadinya pernikahan di usia anak. Berikut Popmama.com bagikan penjelasan selengkapnya:

1. Risiko anak putus sekolah

1. Risiko anak putus sekolah
Freepik

Anak perempuan yang menikah muda tentu tidak bisa mengenyam pendidikan sesuai umurnya karena ia sudah disibukkan dengan kegiatan rumah tangga seperti kehamilan, persalinan, mengurus anak dan mengurus rumah tangganya.

Bagi anak laki-lakinya juga tetap tidak akan bisa fokus pada pendidikannya karena dia akan menerima tuntutan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

2. Meningkatkan risiko kanker dan penyakit mematikan

2. Meningkatkan risiko kanker penyakit mematikan
Freepik/benzoix

Perlu dicek kembali tentang angka kanker serviks yang terjadi di Indonesia. Pernikahan anak menyumbang cukup banyak pada angka total penderita kanker serviks di Indonesia.

Tingginya kanker servik pada perempuan juga terjadi pada perempuan yang terlanjur menikah di usia anak.

Setelah hamil pada usia di bawah 20 tahun, perempuan yang menikah muda berisiko mengalami kanker serviks lebih tinggi. Sementara jika ia mengalami kehamilan di usia jelang 40 tahun juga menghadapi risiko bayi baru lahir meninggal.

Saat kehamilan pun ia berebut vitamin dengan janin dalam kandungan karena pada dasarnya anak perempuan yang hamil tersebut sedang dalam masa tumbuh kembang.

Baca juga: Solusi Kemenkes untuk Kurangi Angka Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir

Editors' Pick

3. Berpotensi menjadi kesulitan finansial atau kemiskinan

3. Berpotensi menjadi kesulitan finansial atau kemiskinan
Freepik

Setelah menikah, tentu ia akan memiliki anak dan menjadi orangtua. Mereka akan mendapat tuntutan menyukupi kebutuhan rumah tangga.

Tanggung jawab secara finansial juga dituntut mencari pekerjaan. Akhirnya pekerja anak ini hanya menerima upah kecil.

Tekanan finansial kemudian mulai terjadi.

4. Meningkatkan kekerasan dalam rumah tangga

4. Meningkatkan kekerasan dalam rumah tangga
Freepik/pressfoto

Sangat besar kemungkin kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bisa terjadi. Tidak punya kemampuan yang cukup untuk mencari penghasilan yang layak, tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga, maka terjadilah KDRT.

Setelah sakit karena adanya kekerasan yang terjadi, tidak bisa membawa anggota keluarga yang butuh pelayanan kesehatan.

Semakin menjadi tekanan dan berdampak buruk untuk kesehatan fisik dan psikis.

5. Meningkatkan kasus penelantaran anak

5. Meningkatkan kasus penelantaran anak
Freepik/Waewkidja

Menikah di usia anak, tentu mereka belum cukup matang untuk memahami konsep pengasuhan anak yang baik. Mereka sendiri masih butuh bermain dan belajar. Hidup tenang dan menjalani sekolah seperti anak pada umumnya.

Jika diberikan tanggung jawab menjadi orangtua tentu mereka akan menemukan banyak kesulitan. Inilah yang menyebabkan terjadi minimnya kualitas pengasuhan anak.

6. Anak kehilangan kesempatan bermain

6. Anak kehilangan kesempatan bermain
Freepik/pressfoto

Anak mungkin tidak menyadari bahwa masa kecil, masa anak-anak adalah masa yang paling indah di mana beban kehidupan belum banyak dirasakan oleh mereka. 

Jika mereka mengalami pernikahan di usia anak maka mereka kehilangan kesempatan bermain bersama teman-temannya. Padahal bermain adalah cara belajar yang menyenangkan dan baik bagi tumbuh kembang anak.

Sangat disayangkan jika waktu mereka akan dipakai untuk mengurus rumah tangga sementara sebenarnya bukan itu kewajiban mereka. 

Bagaimana jika orangtuanya yang menafkahkan setelah anak menikah usia dini?

Sebagian orangtua di daerah, mereka pun belum memegang kontrol pada anak dengan baik. Masih ada pola pikir, “Daripada zina mending nikah.”

Rohika menanggapi, “Ini yang harus diputuskan, mata rantai pernikahan anak di mana orangtua memperbolehkan sementara anak belum berada di usia matang.”

Perlu dipikirkan kembali apakah keputusan orangtua yang membiarkan anaknya menikah pada usia anak adalah suatu hal yang bijak atau malah merugikan anak-anak di masa mendatang.

“Orangtua harus berpikir, anak harus lebih baik dari orangtuanya. Ini yang harus disadarkan pada orangtua. Anak usia 0-13 tahun yg tidak boleh melakukan pernikahan," tutup Rohika.

Baca juga: 

The Latest