1. Yang Fana Adalah Waktu
Yang fana adalah waktu.
Kita abadi memungut detik demi detik,
merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamu.
Kita abadi.
20 Puisi Sapardi Djoko Damono Terpopuler, Sentuhan Cinta dan Renungan Kehidupan

Puisi Sapardi Djoko Damono memang selalu berhasil membius siapa saja yang membacanya. Karangan puisi tersebut dibuat dalam berbagai tema, mulai dari percintaan, kekeluargaan, agama, dan cita-cita.
Bagi remaja yang sedang belajar mengekspresikan diri, kumpulan puisi dari sastrawan ternama ini bisa menjadi contoh sempurna bagaimana bahasa bisa menjadi jembatan antara dunia batin dan realitas.
Ada kosakata yang terkesan tidak selalu popular, tapi tersimpan dengan sederhana. Saat membacanya bisa menyentuh.
Banyak membaca karya puisi dari sastrawan ternama akan meningkatkan kecerdasan berbahasa, melatih rasa, dan mengasah kemampuan berpikir kritis.
Untuk itu, berikut Popmama.com rangkumkan 20 kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono terpopuler yang penuh sentuhan cinta dan renungan kehidupan.
Mahakarya Cinta yang Romantis

Berikut kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono perihal cinta yang romantis:
2. Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
3. Pada Suatu Hari Nanti
Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.
4. Hanya
Hanya suara burung yang kau dengar
dan tak pernah kaulihat burung itu
tapi tahu burung itu ada di sana
Hanya desir angin yang kaurasa
dan tak pernah kaulihat angin itu
tapi percaya angin itu di sekitarmu
Hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu
Renungan Filosofis Merenungi Kehidupan

Selain cinta, Sapardi juga piawai menyajikan renungan filosofis. Berikut ini puisi Sapardi Djoko Damono yang akan mengajak kita merenungi hakikat diri, kehidupan, dan waktu, yaitu:
5. Hatiku Selembar Daun
Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput,
Nanti dulu,
biarkan aku sejenak terbaring di sini,
ada yang masih ingin kupandang,
yang selama ini senantiasa luput;
Sesaat adalah abadi
sebelum kau sapu tamanmu setiap pagi.
6. Sajak Tafsir
Kau bilang aku burung?
Jangan sekali-kali berkhianat
kepada sungai, ladang, dan batu.
Aku selembar daun terakhir
yang mencoba bertahan di ranting
yang membenci angin.
Aku tidak suka membayangkan
keindahan kelebat diriku
yang memimpikan tanah,
tidak memercayai janji api yang akan menerjemahkanku
ke dalam bahasa abu.
Tolong tafsirkan aku
sebagai daun terakhir
agar suara angin yang meninabobokan
ranting itu padam.
Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat
untuk bisa lebih lama bersamamu.
Tolong ciptakan makna bagiku,
apa saja — aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.
7. Dalam Diriku
Dalam diriku mengalir sungai panjang
Darah namanya;
Dalam diriku menggenang telaga darah
Sukma namanya;
Dalam diriku meriak gelombang sukma
Hidup namanya!
Dan karena hidup itu indah
Aku menangis sepuas-puasnya.
8. Metamorfosis
Ada yang sedang menanggalkan
kata-kata yang satu demi satu mendudukkanmu di depan cermin
dan membuatmu bertanya
tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini
ada yang sedang diam-diam
menulis riwayat hidupmu
menimbang-nimbang hari lahirmu
mereka-reka sebab-sebab kematianmu
ada yang sedang diam-diam
berubah menjadi dirimu.
Dialog dengan Alam dan Ketenangan Hati

Banyak puisi Sapardi Djoko Damono yang menggunakan elemen alam sebagai metafora untuk menyampaikan kedamaian, keikhlasan, dan proses penerimaan. Berikut beberapa di antaranya yang terpopuler:
9. Hujan Bulan Juni
tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
10. Akulah Si Telaga
akulah si telaga
berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
perahumu biar aku yang menjaganya.
11. Gerimis Jatuh
Gerimis jatuh kau dengar suara di pintu
Bayang-bayang angin berdiri di depanmu
Tak usah kau ucapkan apa-apa; seribu kata
Menjelma malam, tak ada yang di sana
Tak usah; kata membeku,
Detik meruncing di ujung Sepi itu
Menggelincir jatuh
Waktu kau tutup pintu.
Belum teduh dukamu.
12. Kuhentikan Hujan
Kuhentikan hujan
Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan
Ada yang berdenyut dalam diriku
Menembus tanah basah
Dendam yang dihamilkan hujan
Dan cahaya matahari
Tak bisa kutolak
Matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga
Refleksi Spiritual dan Religius

Nuansa spiritual dan religiositas juga kuat mewarnai karya-karya Sapardi, seperti terlihat pada puisi populernya sebagai berikut:
13. Dalam Doaku
Dalam doa subuhku ini kau menjelma langit yang semalaman tak memejamkan mata,
yang meluas bening siap menerima cahaya pertama,
yang melengkung hening karena akan menerima suara-suara
Ketika matahari mengambang di atas kepala,
dalam doaku kau menjelma pucuk pucuk cemara yang hijau senantiasa,
yang tak henti-hentinya mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau entah dari mana
Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu
bunga jambu,
yang tiba tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu
Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang turun sangat perlahan dari nun disana,
bersijingkat di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku
Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya,
yang setia mengusut rahasia demi rahasia,
yang tak putus-putusnya bernyanyi
bagi kehidupanku
Aku mencintaimu,
itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan
keselamatanmu
14. Sajak Kecil Tentang Cinta
Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala harus menebas jarak
Mencintai-Mu harus menjelma aku
15. Sajak Putih
Beribu saat dalam kenangan
Surut perlahan
Kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh
Sewaktu detik pun jatuh
Kita dengar bumi yang tua dalam setia
Kasih tanpa suara
Sewaktu bayang-bayang kita memanjang
Mengabur batas ruang
Kita pun bisu tersekat dalam pesona
Sewaktu ia pun memanggil-manggil
Sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil
Di luar cuaca
16. Ia Tak Pernah
Ia tak pernah berjanji kepada pohon untuk menerjemahkan burung menjadi api
Ia tak pernah berjanji kepada burung untuk menyihir api menjadi pohon
Ia tak pernah berjanji kepada api untuk mengembalikan pohon kepada burung
Renungan Waktu, Kenangan, dan Kesendirian

Puisi Sapardi Djoko Damono selanjutnya mengangkat tema universal tentang pergulatan dengan waktu, kesendirian, dan bayang-bayang kenangan. Berikut di antaranya:
17. Kita Saksikan
kita saksikan burung-burung lintas di udara
kita saksikan awan-awan kecil di langit utara
waktu itu cuaca pun senyap seketika
sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya
di antara hari buruk dan dunia maya
kita pun kembali mengenalnya
kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata
saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia
18. Sementara Kita Saling Berbisik
Sementara kita saling berbisik
untuk lebih lama tinggal pada debu,
cinta yang tinggal berupa bunga kertas dan lintasan angka-angka
ketika kita saling berbisik
di luar semakin sengit malam hari
memadamkan bekas-bekas telapak kaki,
menyekap sisa-sisa unggun api sebelum fajar
Ada yang masih bersikeras abadi.
19. Menjenguk Wajah di Kolam
Jangan kau ulang lagi menjenguk wajah yang merasa sia-sia,
yang putih yang pasi itu
Jangan sekali-kali membayangkan
Wajahmu bagai rembulan
20. Tentang Matahari
Matahari yang ada di atas kepalamu itu
Adalah balon gas yang terlepas dari tanganmu
waktu kau kecil, adalah bola lampu
yang ada di atas meja ketika kau menjawab surat-surat
yang teratur kau terima dari sebuah Alamat,
adalah jam weker yang berdering
saat kau bersetubuh, adalah gambar bulan
yang dituding anak kecil itu sambil berkata:
“Ini matahari! Ini matahari!”
Matahari itu? Ia memang di atas sana
supaya selamanya kau menghela
bayang-bayangmu itu.
Itu dia 20 puisi Sapardi Djoko Damono terpopuler yang telah menyentuh hati banyak orang. Setiap baitnya bukan sekadar rangkaian kata indah, tapi juga cermin dari pergulatan batin, ketulusan cinta, dan permenungan mendalam tentang kehidupan.
Karya-karya beliau akan terus abadi, menemani pembaca dari generasi ke generasi, membuktikan bahwa yang fana adalah waktu, tapi puisi dan makna di dalamnya adalah keabadian itu sendiri.


















