Baca artikel Popmama lainnya di IDN App
For
You

5 Strategi Menghadapi Ketakutan Anak

Anak dengan ekspresi takut
Pexels/Skyler Ewing

Hal-hal yang dianggap normal oleh orang dewasa belum tentu memiliki implikasi yang sama bagi anak. Apa yang kita pikir tidak menakutkan, bisa jadi sangat menyeramkan di mata anak. Mungkin sulit bagi kita dala memahami ketakutan mereka, tetapi dengan pendekatan yang tepat, kita bisa membantu anak keluar dari ketakutannya sendiri.

Ketakutan pada anak bisa sangat bervariasi, tergantung pada usia dan tahap perkembangan mereka. Anak usia 3 hingga 5 tahun, misalnya, cenderung takut pada hal-hal imajiner, karena mereka masih kesulitan membedakan antara kenyataan dan khayalan. Mereka akan lebih mudah terbirit ketakutan ketika berada dalam kegelapan, mendengar suara yang asing, atau bahkan melihat barang-barang yang besar dan aneh bentuknya seperti topeng.

Sementara itu, anak usia sekolah biasanya mulai mengembangkan ketakutan yang cenderung lebih realistis, seperti takut pada badai, petir, kebakaran, atau terluka. Namun, intensitas ketakutan mereka bisa jauh lebih besar dibanding kemungkinan kejadian itu benar-benar terjadi. Seiring bertambahnya usia dan berkembangnya pemahaman, ketakutan ini umumnya akan berkurang atau menghilang.

Selain itu, anak-anak juga bisa merasa cemas terhadap hubungan dalam keluarga, seperti kekhawatiran tentang perceraian atau kesehatan orang tua. Bahkan pertengkaran kecil atara Mama dan Papa bisa mereka maknai secara berlebihan. 

Tak jarang pula anak meniru ketakutan orang lain, seperti takut anjing, laba-laba, atau ular karena pernah melihat orang dewasa ketakutan terhadap hal yang sama.

Langkah pertama yang penting bagi orangtua adalah mengidentifikasi ketakutan anak dan mengakuinya sebagai sesuatu yang normal bagi mereka, bahkan jika bagi orang dewasa hal tersebut tampak sangat sepele. 

Orangtua harus bersikap penuh pengertian, dan tidak memaksakan anak untuk menghadapi ketakutan mereka secara spontan Misalnya, jika anak takut pada anjing, memaksanya untuk menyentuh anjing hanya akan memperburuk ketakutannya, justru membuat trauma.

Dalam artikel ini, Popmama.com akan menjelaskan 5 strategi dalam hadapi ketakutan anak. Simak hingga selesai, yuk, Ma!

1. Ajarkan teknik relaksasi sederhana untuk menenangkan mereka

Anak terlihat ketakutan bangun tidur
Pexels/Ahmed akacha

“Jika kamu takut, tarik napas dalam-dalam dan cobalah berpikir lebih rileks. Jangan panik,”

Menarik napas dalam secara perlahan dapat membantu mengurangi reaksi fisik terhadap rasa takut. Memberi pelukan atau menggenggam tangan mereka juga bisa menciptakan rasa aman. Puji usaha mereka, sekecil apa pun, saat mereka mencoba menghadapi ketakutan mereka. Ini akan membangun rasa percaya diri dan keyakinan bahwa mereka mampu mengelola rasa takutnya.

2. Ajak anak membicarakan ketakutannya

Anak menutup telinganya
Pexels/Meruyert Gonullu

Membahas rasa takut secara terbuka membantu anak mengidentifikasi dan memahami perasaannya. 

Beberapa anak mungkin tahu apa yang mereka takuti, tetapi tidak mudah untuk mengomunikasikannya. Mama bisa membantu mereka dengan mengajukan pertanyaan lebih spesifik, seperti, “Apa yang membuat anjing menakutkan?” atau “Apa kamu pernah dikejutkan oleh anjing sebelumnya?” 

Jika itu tidak ampuh juga, menggambar juga bisa jadi cara yang efektif, seperti menggambar monster atau makhluk lain yang selama ini membuat mereka ketakutan.

3. Validasi perasaan anak

Ibu dan anak melihat lampu tidur
Pexels/ Artem Podrez

Hargai perasaan anak, hargai ketakutannya, meskipun kita sendiri tidak merasa hal itu menakutkan. 

Alih-alih berkata, “Ah, itu nggak menakutkan,” lebih baik katakan, “Wah, kamu pasti merasa takut ya,” atau, “Banyak anak juga merasa takut dengan itu.” 

Memvalidasi emosinya akan membuat mereka merasa didengar dan dihargai. Keyakinan inii akan membantu mereka belajar menghadapinya.

4. Gunakan teknik bermain peran untuk meyakinkan mereka

Ibu mencium kening anak
Pexels/Ron Lach

Bermain peran dapat membantu anak dalam memahami dan menguasai situasi yang membuat mereka takut. 

Misalnya, jika anak takut suntik, Mama bisa berpura-pura memberi suntikan pada boneka beruang kesayangannya sebelum kunjungan ke dokter. Hal ini memberikan anak rasa kontrol terhadap peristiwa yang mereka takuti akan datang.

Mama juga bisa menyusun daftar kebiasaan untuk membantu anak menghadapi ketakutannya. Misalnya, jika anak takut tidur sendiri, buat rencana mingguan yang secara bertahap bisa mengurangi ketergantungannya untuk ditemani:

  • Malam pertama: Membacakan dua buku, mematikan lampu, menyalakan lampu tidur, dan duduk diam di samping anak sampai mereka tertidur.

  • Malam kedua: Membaca satu buku, menyalakan lampu tidur, dan tetap di luar kamar dengan pintu terbuka.

  • Malam ketiga: Tetap membaca satu buku, lalu menutup pintu setelah lampu tidur menyala.

  • Malam keempat: Membaca satu buku, mematikan lampu, dan menutup pintu sepenuhnya.

Dengan pendekatan yang bertahap ini, mereka tidak akan merasa kaget dan belajar untuk sedikit demi sedikit menghilangkan rasa takut mereka.

5. Lakukan pembiasaan yang rutin

Ibu memeluk anak sedang tidur
Pexels/Ketut Subiyanto

Desensitisasi adalah proses pembiasaan anak secara perlahan melawan sumber ketakutannya. Pembiasaan bertahap bisa diterapkan dengan cara, misalnya, anak yang takut gelap bisa mulai tidur dengan lampu tidur menyala, lalu secara perlahan dibiasakan tidur dalam ruangan yang lebih gelap. 

Atau, anak yang takut disuntik bisa diajak bermain dokter-dokteran di rumah sebelum benar-benar pergi ke klinik. Paling tidak, anak merasa mereka sudah lebih siap dan mengetahui bahwa apa yang ada di depannya mungkin tidak seburuk yang ia bayangkan.

Orangtua juga perlu memberi penguatan bahwa setiap orang memiliki rasa takut, dan itu hal yang wajar. Tunjukkan bahwa Mama paham akan rasa takut mereka dan bersedia mendampingi mereka dalam menghadapinya. 

Itulah, Ma  5 strategi dalam hadapi ketakutan anak. Jika ketakutan anak sudah sangat mengganggu aktivitas sehari-hari, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan tenaga profesional, seperti psikolog anak atau konselor sekolah, ya, Ma.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Novy Agrina
EditorNovy Agrina
Follow Us