Cara Mengajarkan Anak Bersosialisasi agar Masa Kecil Anak Penuh dengan Tawa

Tahukah Mama bahwa tertawa memiliki peran penting dalam menjaga kesehatan tubuh dan mental anak? Menurut Dr. Lee Berk, yang telah meneliti manfaat tawa sejak 1988, tertawa dapat meningkatkan aktivitas natural killer cells, yaitu sel-sel pembunuh alami yang membantu melawan infeksi dan bahkan sel kanker.
Selain itu, tawa juga merangsang produksi hormon endorfin, yaitu hormon “bahagia” yang bekerja menenangkan tubuh secara alami, serta menurunkan kadar kortisol dan adrenalin, dua hormon stres yang jika berlebihan bisa berdampak negatif pada kesehatan.
Memang, tawa mungkin bukan obat untuk segalanya, tapi manfaatnya sangat besar. Bahkan, dalam banyak kasus, tawa bisa menyaingi efek pola makan sehat dan olahraga dalam menjaga tubuh tetap bugar dan bebas penyakit.
Selain manfaat fisik, tertawa juga membawa dampak sosial yang positif. Anak-anak mendapat rasa kenyamanan dari kebersamaan orang-orang di sekitarnya. Rasa kenyamanan ini sangat penting dalam menjaga kesehatan mental mereka.
Perlu diingat, Ma, kebahagiaan anak tidak hanya berasal dari lingkungan keluarga. Anak yang cenderung pendiam sekalipun tetap membutuhkan waktu untuk bersosialisasi dengan teman dari luar rumah.
Dalam artikel ini, Popmama.com akan menjelaskan 7 tips mengajarkan anak cara bersosialisasi. Agar anak Mama lebih percaya diri dan tidak lagi canggung saat ingin mengajak teman bermain!
1. Dekati lebih dulu, selalu dengarkan lebih dulu

Ajari anak untuk berani berbicara lebih dulu saat berada di lingkungan sosial. Membuka percakapan lebih awal biasanya lebih mudah daripada menunggu ditanyai.
Dengan membiasakan hal ini, anak akan merasa terbantu dalam menyampaikan perasaaannya. Mereka menjadi nyaman berbagi dan memahami bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan ketika mereka bercerita dengan orang lain.
Saat anak bermain bersama teman-temannya, orangtua bisa mengawasi dari jauh. Tujuannya agar tidak muncul kebiasaan buruk yang tanpa disadari terus berlanjut karena tidak ada yang mengingatkan.
Misalnya, ketika Mama mengawasi anak dan temannya berinteraksi, ternyata anak mama memiliki kebiasaan memotong pembicaraan orang lain. Mama bisa mengingatkan anak untuk tidak mengulanginya di kemudian hari. Ajak anak untuk belajar menerima pendapat orang lain.
Dorong anak untuk aktif dan percaya diri, tapi tetap bimbing agar sikap itu tidak berubah menjadi perilaku yang kasar atau merugikan mereka di kemudian hari.
2. Ajarkan anak untuk kontak mata dengan lawan bicara

Kontak mata adalah bagian penting dalam komunikasi yang sering kali dilupakan.
Ini tidak hanya berlaku untuk anak-anak. Dengan melakukan kontak mata, lawan bicara akan merasa lebih dihargai dan nyaman saat bercakap.
Hal ini juga membantu lawan bicara lebih mudah membuka diri dan menunjukkan kepribadian mereka yang sebenarnya. Langkah ini membuat mereka akan lebih nyaman bercerita.
Mengajarkan anak untuk berani melakukan kontak mata sejak dini dapat membantu mereka merasa lebih percaya diri ketika dihadapkan dengan banyak orang sekaligus.
Anak pun tidak mudah merasa minder atau ragu menyampaikan pendapat, karena sudah terbiasa menatap dan terlibat secara aktif dalam percakapan.
3. Mencari teman dengan minat yang sama

Salah satu cara efektif untuk membangun pertemanan yang kuat adalah dengan mempertemukan anak dengan teman-teman yang memiliki minat atau gaya hidup serupa.
Mama bisa merencanakan agenda main bersama dengan teman anak yang Mama kenal atau memasukkan anak dalam komunitas yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Contohnya, Mama bisa mendaftarkan anak ke klub bola apabila mereka suka main bola.
Dorong anak untuk berbicara tentang hobi dan hal-hal yang mereka sukai, karena ini akan memudahkan mereka menemukan teman yang memiliki ketertarikan yang sama.
Dengan kebiasaan ini, anak tidak hanya lebih mudah menambah teman, tetapi juga lebih mudah menemukan topik pembicaraan yang menyenangkan baginya.
4. Ajarkan anak mengenali tanda-tanda pertemanan yang tidak sehat

Tidak semua hubungan pertemanan membawa dampak positif. Kadang, ada dinamika pertemanan yang justru merugikan, bahkan merusak.
Jika anak memiliki teman yang bersikap kasar, tidak peduli perasaan orang lain, atau bahkan pernah melakukan bullying, bantu anak untuk memikirkan kembali hubungan pertemanan itu.
Tidak salah menerapkan prinsip bahwa kita bisa berteman dengan semua orang. Tetapi, Mama lebih baik mengajarkan anak untuk tetap selektif dan tidak begitu saja ikut-ikutan perbuatan temannya, apalagi yang buruk.
Dengan memahami tanda-tanda ini, anak akan lebih mampu menjaga diri dan membangun hubungan pertemanan yang lebih sehat.
5. Mengetahui cara merespon percakapan

Salah satu cara menunjukkan bahwa kita benar-benar mendengarkan lawan bicara adalah dengan memberikan respons yang tepat.
Respons verbal tidak hanya menunjukkan bahwa anak memperhatikan lawan bicara, tetapi memang tertarik untuk menjaga alur percakapan.
Misalnya, jika ada teman yang berkata, “Akhir pekan kemarin aku beli buku baru,” anak bisa merespons dengan, “Buku apa yang kamu beli?” Pertanyaan sederhana ini menunjukkan ketertarikan dan mendorong kelanjutan dialog.
Meskipun terdengar seperti suatu hal yang amat dasar, banyak anak yang belum terbiasa dan merasa kesulitan merespons secara alami, terutama jika mereka jarang bersosialisasi atau belum memahami isyarat sosial dengan baik.
Anak-anak sering kali tidak tahu harus berkata apa jika lawan bicara tidak mengajukan pertanyaan secara langsung.
Ada beberapa cara anak bisa merespons dalam percakapan, misalnya dengan mengajukan pertanyaan lanjutan, menunjukkan pengetahuan yang mereka ketahui tentang topik itu (meskipun tidak secara langsung berhubungan), menyampaikan pendapat mereka terhadap peristiwa itu, atau menyampaikan pengalaman serupa yang pernah mereka alami sebelumnya.
6. Bagaimana harus bertindak bila terjadi konflik

Konflik bisa terjadi bahkan dalam pertemanan yang paling dekat sekalipun. Anak-anak cenderung lebih mudah berkonflik karena mereka masih belajar menerima pendapat atau prinsip orang lain yang tidak sejalan dengannya. Mereka mudah bertengkar karena hal sepele.
Jika itu terjadi, Mama bisa meyakinkan mereka bahwa konflik dan pertengkaran itu hal yang wajar. Alih-alih menghindari itu, Mama bisa mengajari mereka bagaimana cara menyelesaikannya.
Ajak anak untuk berani membicarakan konflik yang mereka alami. Dorong mereka untuk membahasnya secara terbuka dengan temannya, dan ajarkan pendekatan yang penuh empati dan adil di kedua sisi.
Ketika mereka bingung harus berbuat apa, Mama bisa berbagi cerita tentang bagaimana Mama pernah mengalami konflik dengan teman dan bagaimana cara menyelesaikannya.
Pendekatan seperti ini bisa memberi anak pemahaman bahwa setiap hubungan memang butuh komunikasi dan komunikasi itu adalah hal yang terus-menerus harus diusahakan.
7. Berbagi tawa bagi sesamanya

Anak-anak secara alami akan menyukai interaksi yang menyenangkan dan membuatnya tertawa.
Rasa humor itu dapat ditularkan kepada anak dengan mengajarkan lelucon sederhana dan mendorong anak untuk membagikannya kepada teman-teman mereka. Perlu diingat, lelucon ini tidak boleh melewati batasnya.
Anak-anak belajar dari contoh. Ketika mereka melihat orang tua atau guru menggunakan humor untuk mencairkan suasana, mereka pun akan merasa lebih nyaman untuk membagikan candaan mereka.
Namun, Mama juga harus mengajarkan anak memahami isyarat sosial, yaitu kapan humor itu tepat dilontarkan dan kapan ia lebih baik diam. Juga mengenai bagaimana mengenali reaksi teman terhadap candaan mereka.
Dengan begitu, anak tidak hanya belajar menjadi sosok yang menyenangkan, tetapi juga sensitif terhadap perasaan orang lain, sehingga tawa yang mereka bawa selalu disambut dengan hangat, bukan dengan salah paham.
Nah, Ma, itulah dia 7 tips mengajarkan anak cara bersosialisasi. Sekarang, coba amati interaksi anak dengan temannya, apakah menurut Mama, interaksi itu sudah cukup ‘sehat’?