“Berdasarkan hasil pengembangan terhadap enam tersangka, penyidik juga mengidentifikasi beberapa grup Facebook yang digunakan untuk berbagi konten pornografi. Saat ini penyidik masih mendalami grup Facebook tersebut. Grup-grup yang berkaitan dengan konten konten asusila dan pornografi dan eksploitasi anak," jelas Himawan.
Kasus Grup Facebook Inses: Kenapa Korbannya Selalu Anak?

Kemunculan grup Facebook bernama ‘Fantasi Sedarah’, yang memiliki lebih dari 32 ribu pengikut, menjadi bukti nyata bahwa ruang digital saat ini jauh dari kata aman.
Jumlah anggota yang begitu besar menunjukkan bahwa ada ribuan orang yang setidaknya tertarik atau terlibat dalam konten menyimpang tersebut. Meski sudah ditutup pada 14 Mei 2025 lalu, pasti masih terbersit dalam benak kita kekhawatiran dan mungkin juga pertanyaan, bagaimana bisa orang sebanyak itu berpikir hal yang sebegitu kejinya?
Jika kita menganggap seluruh anggotanya sebagai pelaku kejahatan atau berpotensi menjadi pelaku, maka mungkin muncul dari dalam pikiran kita pertanyaan: apa yang sebenarnya ada dalam pikiran orang-orang ini?
Ketika fantasi seksual yang menyimpang seperti ini dinormalisasi, dampaknya bisa sangat merusak. Bukan hanya merusak nilai-nilai moral dan sosial, tetapi juga membahayakan generasi muda, yang sering kali menjadi korban utamanya.
Anak-anak tidak seharusnya melihat orang di sekitarnya, keluarga, sebagai orang yang jahat, yang merebut rasa ‘aman’ yang harusnya mereka miliki, mengubahnya menjadi ancaman marabahaya.
Lalu, dari mana akar permasalahan ini sebenarnya muncul? Dan mengapa anak-anak yang selalu menjadi korban? Dalam artikel ini, Popmama.com akan mengupas kasus grup Facebook inses tersebut dan mencoba menjawab pertanyaan mengenai mengapa anak selalu jadi korban?
Kronologi Kasus, 3 dari 4 Korban adalah Anak di Bawah Umur

Penyelidikan dari Dittipidsiber Bareskrim dan Polda Metro Jaya menangkap adanya enam tersangka dari kejadian ini. Tersebar dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, dan Bengkulu, masing-masing dari pelaku ini memiliki motif tersendiri dalam melakukan tindakan itu.
Tersangka berinisial DK ditangkap di Jawa Barat pada 17 Mei 2025 lalu. Ia diungkap telah menjual konten pornografi anak dengan tarif Rp50.000 per 20 video dan Rp100.000 untuk 40 video dan foto.
MR ditangkap di Jawa Barat pada Senin, 19 Mei 2025, ia adalah pembuat Grup ‘Fantasi Sedarah’ itu pada Agustus 2024. Dari ponselnya ditemukan 402 gambar dan 7 video pornografi.
Yang ketiga adalah MS yang ditangkap di Kudus, Jawa Tengah. Ia sendiri adalah anggota aktif yang diungkap telah membuat video asusila dirinya sendiri dengan anaknya.
Yang keempat berinisial MJ. Ia ditangap di Bengkulu pada 19 Mei 2025. Sebagai anggota aktif grup tersebut, ia memproduksi video asusila bersama korban. Sebelumnya, ia merupakan buron Polresta Bengkulu dari kasus kekerasan seksual yang mengakibatkan empat anak menjadi korban kelakuannya.
Tersangka kelima berinisial MA ditangkap di Lampung pada Selasa, 20 Mei 2025 lalu. Mengunduh dan menyebarkan ulang kontek poronografi anak, dalam ponselnya ditemukan 66 gambar dan 2 video pornografi.
Tersangka terakhir adalah KA, ditangkap di Jawa Barat pada 19 Mei 2025. Ia adalah anggota grup “Suka Duka”, yang memiliki konten pornografi anak sama dengan “Fantasi Sedarah”.
Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigjen Himawan Bayu Aji, pada Konferensi Pers Bareskrim Polri tanggal 21 Mei 2025 lalu mengatakan bahwa ada beberapa grup lain yang disalahgunakan oleh tersangka,
Merupakan Bentuk Kekerasan Seksual Berbasis Digital

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Yuni Asriyanti serta-merta mengecam tindakan ini, seperti dikutip dalam laporan Tempo.co,
"Sudah di luar batas kemanusiaan karena mengobjektifikasi anak-anak dan glorifikasi hubungan sedarah," ujarnya pada (20/05/2025).
Pihaknya juga menyatakan bahwa banyak laporan yang diterima Komnas Perempuan adalah kasus inses.
Pada tahun 2023 lalu, dari 289.111 aduan kasus kekerasan yang mereka terima, 98,5% di antaranya terjadi dalam ranah personal dengan pelaku kebanyakan adalah orang di dalam keluarga seperti ayah kandung, ayah tiri, paman, kakek, dan lain sebagainya.
Menggunakan platform Facebook sebagai ruang kekerasan, kasus ini bisa dikategorikan sebagai Kekerasan Seksual Berbasis Gender Online atau KBGO.
Dikutip dari laporan yang sama oleh Tempo.co, Dosen Sosiologi Universitas Gadjah Mada, Desintha Dwi Asriani mengomentari bahwa kasus ini, selain menyalahgunakan media sosial untuk melakukan kekerasan seksual dalam ruang teknologi digital, juga menunjukkan corak kejahatan seksual yang mengekspos adanya relasi yang patriarkal dalam masyarakat, terutama karena kebanyakan korbannya adalah anak perempuan.
“Ada kecenderungan budaya misoginis yang semakin disirkulasi di ruang media sosial,” ungkap Desintha.
Angka kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di Indonesia mengalami lonjakan tajam. Menurut data SAFEnet Indonesia pada 2024, jumlah kasus KBGO meningkat hampir empat kali lipat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Tercatat sebanyak 118 kasus pada triwulan I tahun 2023, melonjak menjadi 480 kasus pada triwulan I tahun 2024.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) juga menyampaikan bahwa dari seluruh kasus yang tercatat pada 2024, sekitar 26 persen korbannya berada dalam rentang usia di bawah 18 tahun, dengan jumlah korban mencapai 123 anak.
Problem Relasi Kuasa, Anak Rentan Jadi Korban

Yuni Asrianti, dikutip dalam Tempo.co juga mengatakan bahwa kekerasan seksual rentan terjadi dalam lingkup keluarga dengan anak sebagai korban karena anggota keluarga umumnya memiliki kuasa terhadap korban.
Dalam piramida relasi kuasa, terutama dalam kasus inses, anak selalu berada di posisi yang tidak memiliki kuasa. Sebagai anak mereka memiliki kepercayaan besar kepada keluarga sebagai orang terdekatnya. Kepercayaan yang besar itu sering membuat anak rentan menjadi korban.
Bercermin dari kasus ini, inisial MS melecehkan korban yang adalah anak kakak iparnya yang berusia 12 dan 8 tahun. Sedangkan pelaku inisial MJ mencabuli anak tetangganya yang berusia 7 tahun sebanyak tiga kali.
Dari sini sebenarnya jelas bahwa anak yang menjadi korban tidak memiliki kuasa untuk menolak, karena bagaimanapun mereka adalah anak-anak yang masih membutuhkan guidance dari orang dewasa di sekitarnya.
Dalam Konferensi Pers Bareskrim Polri (21/05.2025) lalu, Direktur Tindak Pidana Perempuan Anak dan Pidana Perdagangan Orang Brigadir Jenderal Nurul Azizah berkata bahwa korban dari kedua pelaku itu tidak sadar bahwa mereka dicabuli,
"Mereka (korban) tidak sadar kalau dicabuli. Metodenya dengan grooming atau pelan-pelan tapi pasti," kata Nurul dalam pertemuan tersebut.
Ini semakin mempertegas bahwa kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak selalu berhubungan dengan adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara anak dan orang dewasa.
Anak adalah Jiwa yang Inosen. Lingkungan yang Mewarnainya.

Pada usia mereka, anak belum memiliki subjektivitas atas dirinya. Mereka belum cukup mampu untuk membuat keputusan bijak, mungkin juga belum cukup kuat untuk memahami bahwa mereka bisa menolak.
Maka ketika seseorang memotret mereka tanpa izin, lalu memframingnya secara seksual, yang direnggut adalah sepenuhnya diri mereka. Kepolosan yang seharusnya masih ada.
Tanpa subjektivitas dan tanpa kekuatan, anak-anak hanya punya orang dewasa yaitu keluarganya sebagai tembok yang melindunginya. Mereka tidak seharusnya melihat orang-orang terdekatnya, keluarga, tetangga, orang dewasa lain, sebagai ancaman.
Mereka tidak seharusnya hidup dengan rasa takut terhadap tembok yang seharusnya melindungi, namun justru retak dan meruntuhkan mereka dari dalam.
Sebagai orang dewasa, kita bukan hanya sosok yang mampu membuat keputusan, tapi juga sosok yang seharusnya menjaga. Kita memiliki kuasa, dan karena itu pula, tanggung jawab.
Menciptakan ruang yang aman, baik fisik maupun yang semu di dunia maya, oleh karenanya adalah tugas kita. Penyalahgunaan seperti ini bukan hanya membahayakan jiwa anak, tapi juga merusak cara mereka melihat dunia.
Ketika orang dewasa lain berusaha merusak visi itu, mereka bukan hanya menghancurkan dunia yang selama ini kita hidupi, tapi juga menghancurkan bayangan dunia baik yang selama ini kita coba bangun untuk anak-anak. Dunia yang aman untuk bertumbuh, untuk belajar, yang seharusnya kita bisa jaga bersama-sama.
Ma, itu dia berita mengenai kasus grup Facebook inses yang bisa Popmama.com sampaikan. Semoga para pelaku dihukum dengan hukuman yang berat, ya.



















