The Missing Colors, Buku Ciptaan Mahasiswi Indonesia yang Dipakai dalam Kurikulum Harvard

- Waitatiri, mahasiswa Indonesia di Harvard, menciptakan buku anak The Missing Colors yang digunakan dalam kurikulum K3 Harvard.
- The Missing Colors mengajarkan tentang perundungan dan emosi, diintegrasikan dalam kurikulum K-3 Harvard untuk memfasilitasi diskusi.
- Waitatiri juga sedang mempersiapkan buku anak kedua yang membahas perundungan dari berbagai sudut pandang.
Buku anak berbeda dengan buku pada umumnya. Buku untuk anak biasanya memiliki jumlah kata yang terbatas, bahasa yang sederhana dan mudah dipahami sesuai dengan tingkat umurnya, serta makna yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Tak hanya itu, ilustrasi dalam buku anak pun harus disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan anak, dengan warna yang tidak terlalu mencolok agar tidak menyebabkan overstimulasi, serta ilustrasi yang sederhana dan dapat mendukung cerita secara simultan. Karena itulah, membuat buku anak bukanlah hal yang mudah.
Terlebih lagi jika buku tersebut ditujukan sebagai bahan ajar. Tantangannya tentu jauh lebih kompleks. Oleh karena itu, karya salah satu anak bangsa berikut ini patut mendapat sorotan.
Waitatiri, mahasiswa program S2 di Harvard University yang berasal dari Jakarta, berhasil menciptakan sebuah buku anak berjudul The Missing Colors sebagai bagian dari tugas akhir untuk mata kuliah Education in Uncertainty.
Usahanya tidak hanya membuahkan hasil akademis, tetapi juga berdampak luas: buku ini kini digunakan sebagai model kurikulum K3 (Kindergarten to Grade 3) di Harvard dan telah diunggah di platform Harvard REACH agar dapat dimanfaatkan sebagai bahan ajar oleh pendidik di seluruh dunia.
Keren banget, ya, Ma! Di artikel ini, Popmama.com akan membahas lebih lanjut tentang sosok Waitatiri, penulis buku anak berbakat asal Indonesia. Yuk, simak ceritanya sampai selesai!
Memahami Bahaya Perundungan Melalui The Missing Colors

The Missing Colors adalah buku bergambar yang menceritakan kisah Putra, seorang anak yang merasa dirinya ‘tersamarkan’ di tengah teman-temannya. Putra dalam buku itu digambarkan secara literal dengan warna tubuh abu-abu, di tengah teman-temannya yang penuh warna cerah.
Cerita ini menyentuh tema tentang rasa memiliki, persahabatan, serta pentingnya merawat diri dan saling peduli antar sesama.
Buku ini mengajak anak-anak untuk merenungkan momen ketika mereka merasa “kelabu”, serta menemukan kembali hal-hal yang membawa kebahagiaan dalam kehidupan mereka, baik dari diri sendiri maupun lewat interaksi dengan teman-teman.
Melalui warna dan ilustrasi yang kuat, buku ini membangun pemahaman emosional yang mendalam sebagai cara yang efektif untuk memperkenalkan empati sejak dini.
Dirancang untuk Kurikulum K-3 Harvard

Tak hanya menjadi bacaan menarik, The Missing Colors juga telah diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan K-3 (Kindergarten hingga kelas 3 SD) di Harvard University.
Materi pengajaran ini dapat diakses secara bebas melalui laman Harvard REACH dan dirancang untuk membantu guru memfasilitasi diskusi tentang perasaan, perbedaan, dan pentingnya memiliki pertemanan yang inklusif.
Warna-warna yang sederhana dan simbolisme yang dikandungnya membuat anak lebih mudah mengidentifikasi karakter dan emosi masing-masing tokoh dan sebagai pembaca, membuat mereka juga lebih nyaman dalam mengekspresikan suasana hati mereka.
Ditulis oleh Waitatiri, Mahasiswi Asal Indonesia

Penulis di balik karya inspiratif ini adalah Waitatiri, seorang mahasiswi asal Jakarta yang pada 2023 telah menyelesaikan pendidikan S2 di Harvard University.
Wai, sapaan akrabnya, mendalami dunia pendidikan dan anak-anak melalui berbagai riset, termasuk dengan melakukan observasi ke sejumlah pesantren di Indonesia.
Berawal dari Pengalaman Penyintas

Inspirasi utama buku ini datang dari pengalaman pribadi Wai yang pernah mengalami perundungan. Ketika melanjutkan studi di Amerika Serikat, ia semakin menyadari bahwa isu perundungan di Indonesia masih sangat mengkhawatirkan. Meskipun jauh dari tanah air, ia terus mendengar kabar tentang kasus-kasus perundungan yang berakhir tragis.
Dari sinilah lahir tekad Wai untuk menciptakan karya yang bukan hanya memperluas kesadaran tentang bahaya perundungan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai empati dan ketahanan emosional sejak usia dini.
Tidak Berhenti di Satu Buku

Wai tidak berhenti pada The Missing Colors. Dalam laporan yang dilansir oleh Tempo, ia tengah mempersiapkan buku anak keduanya yang berjudul Katanya, Bullying Melatih Mental (They Say Bullying Builds Character), yang rencananya akan terbit pada pertengahan tahun 2025.
Berbeda dari buku pertamanya, karya ini mengambil pendekatan yang lebih luas dan analitis. Wai mengangkat perundungan dari berbagai sudut pandang: korban, pelaku, serta pengamat.
Berdasarkan riset mendalam selama studinya di Harvard, buku ini bertujuan untuk menantang narasi keliru yang menganggap perundungan sebagai bagian normal dari proses tumbuh kembang anak.
“Saya berharap melalui buku ini, kita bisa bersama-sama memperjuangkan lingkungan pendidikan yang lebih aman dan mendukung bagi anak-anak Indonesia,” ujar Wai dalam sebuah wawancara, seperti dilansir dari thesmedia.id.
Tingginya Kasus Perundungan di Indonesia

Data menunjukkan bahwa kasus perundungan di kalangan anak dan remaja di Indonesia masih tinggi. Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) per Maret 2024 mengungkap adanya 141 laporan kasus perundungan yang sebagian besar atau hampir 95% terjadi di lingkungan pendidikan.
Lebih menyedihkan lagi, dari jumlah tersebut, 46 kasus perundungan di antaranya membuat korban harus kehilangan nyawa.
Banyak di antara kasus tersebut justru terjadi di lingkungan sekolah, tempat yang seharusnya menjadi ruang aman untuk tumbuh dan belajar.
Lewat literasi dan edukasi yang sensitif terhadap emosi anak, seperti karya-karya Waitatiri, kita bisa membuka ruang dialog, membangun empati, dan menciptakan budaya yang lebih peduli.
The Missing Colors bukan hanya buku cerita biasa. Ia adalah pintu masuk menuju diskusi penting tentang emosi, keberagaman, dan keselamatan anak di lingkungan belajar. Sebuah karya anak bangsa yang patut diapresiasi dan didukung bersama.
Nah, Ma, itu dia sekilas berita mengenai Waitatiri, penulis buku anak berbakat asal Indonesia. Mari bersama kita selalu apresiasi karya anak bangsa!