Cara Bangun Komunikasi Orangtua dan Pihak Sekolah, Kenali Tantangannya

Indeks akademik yang menurun, pembentukan karakter yang kurang optimal, serta kondisi emosional anak yang tidak stabil bisa menjadi dampak dari kurangnya komunikasi antara orangtua dan pihak sekolah.
Ketika komunikasi tidak terjalin dengan baik, informasi penting mengenai perkembangan anak, baik secara akademis maupun non-akademis, tidak tersampaikan secara menyeluruh. Akibatnya, kebutuhan anak yang seharusnya bisa segera direspons justru terabaikan.
Perbedaan visi dan misi antara orangtua dan sekolah pun sering kali berujung pada ketidakpuasan dari kedua belah pihak.
Oleh karenanya, keberadaan “jembatan” komunikasi antara dua pihak pendidik anak ini sangatlah penting, terutama dalam perannya membentuk lingkungan belajar yang sehat dan suportif bagi anak.
Mama, yuk kenali berbagai tantangan dalam komunikasi antara orangtua dan pihak sekolah yang perlu Mama perhatikan. Simak artikel dari Popmama.com berikut ini untuk mengetahui informasinya secara lengkap!
1. Kesenjangan antara kemampuan anak dan ekspektasi orangtua

Kendala terbesar adalah ketika orangtua berekspektasi terlalu berlebihan pada anaknya, sedangkan kondisi anak sendiri tidak semampu itu untuk menggapainya.
Orangtua yang terlalu ambisius kerap kali memforsir anaknya sehingga mereka mungkin akan kehilangan motivasi dan semangat untuk sekolah.
Menurut Kepala Sekolah Cikal Bandung, Mohammad Rizky Satria, S.Pd,M.Pd, kondisi itu dapat diselesaikan apabila sekolah dapat memahamkan orangtua mengenai shift fokus dunia pendidikan masa kini,
“Sekolah dalam hal ini dapat memberikan pandangan yang dapat menggambarkan bahwa di dunia pendidikan saat ini yang tidak lagi menekankan pada penguasaan materi yang menekankan pada kemampuan kognitif, namun pada penguasaan kompetensi yang menekankan pada seluruh potensi diri secara komprehensif,” jelasnya.
2. Beda proses didik di sekolah dan di rumah

Kurangnya komunikasi yang jelas tentang peran masing-masing antara orangtua dan pihak sekolah sering kali membuat kedua belah pihak bingung.
Baik guru maupun orangtua bisa merasa ragu atau enggan terlibat lebih jauh karena tidak tahu siapa seharusnya melakukan apa dalam mendukung perkembangan anak, terutama dalam hal komunikasi dan pendekatan pendidikan.
Ambiguitas peran ini sering tercermin dari perbedaan pendekatan yang digunakan oleh sekolah dan keluarga. Seperti dijelaskan oleh Rizky,
“Dalam beberapa situasi, ketika tampak adanya perbedaan tujuan antara orangtua dan sekolah, jika ditelusuri lebih dalam, sering kali yang terjadi bukanlah perbedaan tujuan, melainkan perbedaan cara,” jelasnya.
Misalnya, baik sekolah maupun orangtua sama-sama ingin memotivasi anak dalam belajar. Namun, orangtua mungkin lebih condong pada pendekatan berbasis kompetisi, sementara sekolah justru mendorong kolaborasi dan kerja sama.
Perbedaan cara inilah yang dapat menimbulkan ketidaksesuaian dan kebingungan, terutama bagi anak yang berada di tengah-tengah kedua lingkungan tersebut.
3. Tenaga pengajar tidak terbiasa bekerja kolaboratif dengan orangtua

Meski kolaborasi antara sekolah dan keluarga sangat penting, kenyataannya banyak tenaga pendidik yang belum memiliki kesiapan profesional untuk bekerja sama dengan orangtua.
Penelitian menunjukkan bahwa guru sering kali merasa kurang kompeten dalam menjalin hubungan kolaboratif dengan keluarga, terutama jika dibandingkan dengan profesi lain seperti perawat atau pekerja sosial (Bailey, Palsha, & Simeonsson, 1991).
Di sisi lain, beberapa sekolah cenderung tidak secara aktif melibatkan orangtua karena menganggap keterlibatan mereka terbatas oleh kesibukan atau pekerjaan yang dijalani, alih-alih melihat orangtua sebagai mitra penting dalam proses pendidikan anak.
Akibatnya, muncul perbedaan harapan. Misalnya, orangtua menganggap bahwa sekolah sepenuhnya bertanggung jawab atas perkembangan akademik anak, sementara sekolah berharap orangtua lebih aktif mendampingi dan membimbing anak di rumah.
Ketidaksesuaian persepsi inilah yang membuat kolaborasi menjadi tidak optimal.
4. Keterbatasan waktu yang dimiliki kedua belah pihak

Kekhawatiran bahwa orangtua tidak memiliki cukup waktu untuk terlibat dalam perkembangan anak memang ada benarnya.
Beberapa orangtua mungkin memiliki jadwal yang sangat padat karena pekerjaan atau tanggung jawab lainnya, namun ada juga yang lebih leluasa dalam mendampingi anak.
Di sisi lain, sekolah pun sering menghadapi keterbatasan waktu dalam menjalin komunikasi dan kolaborasi yang bermakna dengan keluarga.
Dengan demikian, baik orangtua maupun sekolah sama-sama menghadapi tantangan dalam hal waktu, yang tentu membuat keterlibatan menjadi semakin sulit.
Meski begitu, bukan berarti kolaborasi tidak bisa dilakukan. Mama bisa mulai dengan menganalisis sejauh mana kemampuan dan ruang gerak sekolah dalam menjalin kerja sama, lalu menyesuaikannya dengan kapasitas Mama sendiri sebagai orangtua.
Dengan begitu, peran Mama dalam mendukung pertumbuhan si Kecil tetap bisa berjalan secara optimal, meski di tengah keterbatasan.
5. Perbedaan kultur antara kedua belah pihak

Perbedaan latar belakang budaya antara orangtua dan pihak sekolah, terutama jika Mama menyekolahkan anak di sekolah internasional, bisa menjadi tantangan tersendiri.
Sekolah, keluarga, bahkan siswa-siswanya sendiri mungkin berasal dari budaya yang sangat beragam. Hal ini bisa menimbulkan perbedaan dalam visi, cara berkomunikasi, hingga pendekatan dalam mendidik anak.
Perbedaan tersebut berisiko menimbulkan ketidaksesuaian nilai dan kebingungan bagi anak, terutama jika mereka menerima pesan yang bertentangan mengenai apa yang dianggap penting atau benar.
Jika pihak sekolah tidak mengetahui nilai-nilai budaya khusus yang keluarga Mama pegang, mereka mungkin akan memperlakukan anak Mama sama seperti siswa lainnya, tanpa mempertimbangkan konteks budaya yang berbeda.
Karena itu, penting bagi orangtua untuk mengomunikasikan nilai-nilai budaya yang dianggap penting kepada pihak sekolah agar bisa tercipta pemahaman dan pendekatan yang lebih selaras.
6. Lingkungan sekolah yang tidak ramah keluarga

Lingkungan sekolah yang terlalu birokratis dan terfokus pada prosedur administratif sering kali membuat orangtua enggan terlibat. Ketika proses yang ada justru menyulitkan mereka, hal ini bisa memunculkan rasa malas untuk ikut campur dalam perkembangan pendidikan anak.
Selain itu, komite sekolah yang sering kali dipenuhi konflik antar orangtua dan sikap kaku pihak sekolah dalam merespons masalah juga dapat memberikan kesan negatif. Akibatnya, orangtua cenderung menghindari keterlibatan dalam kegiatan sekolah.
Tidak jarang pula, penyelesaian konflik yang dilakukan oleh pihak sekolah terasa kurang serius. Pertemuan yang digelar sering kali hanya menjadi formalitas tanpa usaha yang nyata untuk menyelesaikan masalah.
Hal ini justru membuat orangtua merasa terasingkan dan kehilangan harapan pada sekolah, alih-alih menjadikan mereka sebagai ‘mitra’ pendukung yang penting dalam pendidikan anak.
7. Tantangan sosioekonomi

Perbedaan kondisi sosioekonomi antara satu keluarga dengan keluarga siswa lainnya juga dapat menjadi tantangan tersendiri.
Sekolah cenderung menyesuaikan sistem pendidikan dan pendekatannya dengan kebutuhan mayoritas siswa, yang bisa jadi tidak selalu sejalan dengan kondisi semua keluarga.
Keluarga dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah, misalnya, mungkin merasa kesulitan untuk memahami atau mengikuti sistem pendidikan yang sering kali didasarkan pada nilai-nilai dan cara pandang kelas menengah ke atas.
Perbedaan dalam prioritas hidup, cara berkomunikasi, serta akses terhadap informasi atau sumber daya pendidikan bisa membuat orangtua merasa kurang percaya diri atau bahkan enggan terlibat.
Hal ini bukan berarti mereka tidak peduli terhadap pendidikan anak, tetapi lebih kepada tantangan yang mereka hadapi dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah yang terasa asing.
Lalu, apa solusi untuk ketujuh tantangan dalam komunikasi antara orangtua dan pihak sekolah tersebut? Solusinya adalah dengan mengadakan diskusi integratif antara sekolah dan rumah. Ini penting untuk kembali membicarakan dan menyelaraskan tujuan serta visi bersama antara pihak sekolah dan orangtua. Rizky melanjutkan,
“Langkah yang paling tepat adalah membicarakan kembali nilai-nilai yang kita anut bersama. Dengan berbagi perspektif tentang tujuan dan metode pendidikan, serta melihatnya melalui kacamata yang lebih luas, orangtua biasanya mendapatkan wawasan baru yang membantu mereka menyelaraskan kembali tujuan pendidikan anak,” tuturnya.