Baca artikel Popmama lainnya di IDN App

7 Pola Asuh yang Bikin Anak Merasa Dirinya Raja

7 Pola Asuh yang Bikin Anak Merasa Dirinya Raja
freepik/stockking

Pernahkah Mama merasa anak mama ingin berkuasa atas segala sesuatu layaknya seorang raja?

Iklan - Scroll untuk Melanjutkan

Dalam mengasuh anak, semua orangtua tentu ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.

Namun, jarang diketahui bahwa ada pola asuh yang justru membuat anak merasa berkuasa atas segalanya, seolah dunia harus berputar sesuai keinginannya, yaitu pola asuh permisif.

Dilansir dari Michigan State University, pola asuh permisif adalah ketika orangtua memberikan kebebasan, keterbukaan dan izin untuk melakukan segala sesuatu yang diinginkan anak secara berlebihan.

Dimana anak tidak diberikan batasan dan aturan yang tegas.

Berbeda dengan jenis pola asuh yang semata-mata mengabaikan anak, pola asuh permisif justru membanjiri si Anak dengan perhatian dan kasih sayang yang melimpah.

Karena itu, pola asuh permisif identik dengan memanjakan anak secara berlebihan.

Pola asuh ini dapat memengaruhi tumbuh kembang emosional anak secara negatif. Seperti kesulitan berempati, kesulitan menerima penolakan, dan rentan menghadapi stres ketika dewasa nanti.

Maka dari itu, Mama harus mulai mengenali ciri-ciri pola asuh permisif sejak dini, agar anak mama terhindar dari perasaan bahwa dirinya adalah raja.

Berikut telah Popmama.com rangkum 7 pola asuh yang bikin anak merasa dirinya raja.

1. Tidak pernah dikenalkan konsekuensi

1. Tidak pernah dikenalkan konsekuensi
freepik

Jika orangtua tidak pernah mengenalkan konsekuensi terhadap tindakan anak, mereka tidak akan memahami hubungan sebab-akibat.

Misalnya, jika anak merusak barang dan Mama langsung membeli gantinya tanpa memberikan penjelasan, anak mama akan belajar bahwa kesalahan tidak berakibat apa-apa.

Padahal, konsekuensi yang tepat justru mengajarkan anak tanggung jawab, harga diri, dan refleksi diri. Asalkan dilakukan dengan empati dan keinginan untuk mendidik dan bukan hukuman berat.

Lebih lanjut, pemberian konsekuensi ini dapat membiarkan anak merasakan akibat nyata dari tindakannya dan membantu anak belajar bertanggung jawab dengan cara yang jauh lebih efektif dibanding hukuman semata.

Misalnya, jika anak mama menjatuhkan sebuah barang sampai pecah, Mama bisa mengajaknya menabung uang jajannya untuk mengganti barang yang pecah.

Atau ketika si Anak menumpahkan minuman ke lantai, ajaklah dia untuk membersihkannya bersama. Dan konsekuensi lain dari kreativitas Mama sesuai dengan kesalahan yang si Anak lakukan.

Dengan memberikan kesempatan bagi anak untuk melihat hasil dari pilihannya sendiri, Mama akan membantu anak dalam menumbuhkan karakter tangguh dan mandiri, bukan hanya anak yang takut dihukum.

2. Tidak pernah diajarkan tanggung jawab

2. Tidak pernah diajarkan tanggung jawab
freepik

Berbeda dengan konsekuensi yang berorientasi untuk memperbaiki kesalahan, tanggung jawab merujuk pada hal-hal yang harus anak mama lakukan baik dia suka atau tidak suka.

Seperti merapikan tempat tidur, belajar setiap hari, membereskan mainan, membantu pekerjaan rumah, dan sebagainya.

Tanpa diajarkan tanggung jawab, anak akan tumbuh tanpa pemahaman atas kontribusi terhadap keluarga.

Pola asuh permisif seringkali tidak menetapkan ekspektasi atau tanggung jawab yang jelas, sehingga tumbuh pemahaman dalam diri si Anak bahwa ia adalah raja yang akan selalu dilayani oleh orang-orang di sekitarnya.

Hal ini juga dapat menyebabkan anak kurang mampu mengelola emosi dan beradaptasi sosial.

Saat Mama menggabungkan kasih sayang dan dukungan dengan tuntutan tanggung jawab, anak akan tumbuh dengan rasa percaya diri, kemampuan regulasi emosi, dan sikap mandiri.

Oleh karena itu, Mama dapat memulai dengan menetapkan tugas-tugas kecil namun konsisten di rumah. Beberapa contoh aktivitas yang dapat Mama terapkan bagi si Anak adalah sebagai berikut:

  • merapikan tempat tidur setelah bangun pagi,

  • menetapkan jadwal belajar setiap hari,

  • bertanggung jawab untuk memberi makan hewan peliharaan,

  • menyiram tanaman setiap hari,

  • membantu pekerjaan rumah sederhana

3. Terlalu sering diberi imbalan

3. sering diberi imbalan
pexels/August de Richelieu

Tahukah Mama, bahwa memberi imbalan secara terus-menerus terhadap perilaku anak bisa mereduksi motivasi intrinsik mereka?

Dalam dunia psikologi fenomena ini dikenal dengan istilah overjustification effect, dimana memberi hadiah untuk hal yang sudah anak sukai malah bisa mengurangi rasa senang pada aktivitas tersebut

Sistem imbalan bisa menyebabkan anak bergantung pada hadiah, dan lupa membangun motivasi serta rasa bangga dari dalam.

Mama dapat mulai mewaspadai tanda-tanda konkritnya, seperti saat anak hanya mau melakukan suatu aktivitas jika ada imbalan materi yang akan diperoleh.

Padahal, penghargaan sederhana seperti pujian tulus atau pelukan hangat jauh lebih efektif untuk mendampingi pertumbuhan emosional anak mama serta menumbuhkan motivasi dan kegigihan sejak kecil.

4. Selalu dihindarkan dari tantangan

4. Selalu dihindarkan dari tantangan
pexels/Vidal Balielo Jr.

Orangtua yang selalu menghindarkan anak dari tantangan justru menghambat tumbuhnya ketahanan atau resiliensi dalam diri anak.

Mama perlu mewaspadai tindakan parenting seperti mengerjakan tugas sekolah, ikut campur dalam konflik pertemanan, dan tindakan lain yang menjauhkan anak dari tantangan secara berlebihan.

Hal ini dapat menumbuhkan pemikiran bak seorang raja dalam diri anak. Ia akan kesulitan memecahkan masalahnya sendiri dan akan bergantung secara berlebihan kepada orang di sekitarnya.

Ketika orangtua membiarkan anak merasakan kesulitan dari tantangan, anak akan belajar berpikir mandiri dan bertanggung jawab.

Membiarkan anak menghadapi akibat nyata sangat penting dalam menumbuhkan kecerdasan emosional dan kemampuan mengambil keputusan sendiri.

Pendekatan ini sesuai dengan prinsip Positive Discipline ala Psikolog Alfred Adler, yang menyarankan agar orangtua tidak melindungi anak secara berlebihan, tetapi tetap memberikan bimbingan dalam menetapkan batas yang aman.

Dengan membiarkan mereka menghadapi tantangan sepanjang masa kecilnya, anak mama akan belajar mengembangkan ketangguhan emosional, kemampuan refleksi diri, dan keterampilan pemecahan masalah sejak dini.

5. Semua orang selalu dipaksa mengikuti mood anak

5. Semua orang selalu dipaksa mengikuti mood anak
freepik

Jika Mama terlalu sering memaksakan perubahan aktivitas atau keputusan di keluarga supaya sesuai mood si Anak, akan tumbuh kesan dalam diri anak bahwa dunia harus menuruti suasana hatinya.

Misalnya ketika Mama terlalu sering membatalkan acara karena anak sedang rewel

Pola asuh ini, kurang menetapkan aturan dan batasan yang konsisten sehingga anak sulit memahami realita sosial dan ekspektasi teman sebaya.

Tanpa pelajaran tentang sabar dan kompromi, anak mama dapat mengalami kesulitan beradaptasi di luar lingkungan keluarga.

Mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang kurang tanggap terhadap kebutuhan orang lain dan mudah frustasi.

Mama bisa mulai mencoba untuk mengendalikan mood anak mama dengan cara yang lembut, dan tegas bila diperlukan.

Dan jangan mengendalikan situasi sesuai mood anak saja, tunjukan kontrol dan kuasa orangtua di depan anak mama.

Hal ini akan melatih kemampuan regulasi emosi dan mempersiapkan anak mama untuk beradaptasi di lingkungan yang lebih luas.

6. Selalu ‘diselamatkan’ oleh orangtua

6. Selalu ‘diselamatkan’ oleh orangtua
freepik

Kebiasaan orangtua untuk hadir sebagai penyelamat anak dari setiap masalah kecil justru mendorong pola asuh permisif.

Hal ini memiliki pengaruh langsung terhadap rendahnya kemandirian, masalah pengambilan keputusan, dan tekanan emosional pada anak.

Jika terus menerus diselamatkan orangtua dari masalah atau konsekuensi, anak akan merasa layaknya seorang raja yang menunggu untuk diselamatkan pasukan ksatrianya.

Mama harus mulai berhenti mengambil peran ksatria dan membiarkan anak menghadapi akibat pilihannya sendiri.

Hal ini akan membantu anak untuk tumbuh sebagai individu yang mandiri, bertanggung jawab, dan siap menghadapi berbagai keadaan.

Mama dapat mengalihkan penyelamatan menjadi konsistensi dan pengawasan yang sehat, bukan intervensi berlebih, agar anak mama dapat tumbuh dengan kegigihan emosional yang tangguh.

7. Tidak pernah mengenal kata ‘tidak’

7. anak tidak mengenal kata 'tidak'
pexels/August de Richelieu

Batasan adalah konsep penting dalam pertumbuhan mental anak. Tanpa pernah mendengar kata ‘tidak,’ anak akan tumbuh dengan perasaan bahwa segala keinginannya harus dituruti.

Mama harus mewaspadai pola asuh yang cenderung minim aturan dan penolakan, karena dapat menyebabkan anak mama kesulitan untuk menghadapi realita hidup, menunda kepuasan, dan mengatur diri.

Mama bisa mulai dengan mengenalkan konsep toleransi terhadap ketidaknyamanan kecil, karena melalui penolakan ini anak belajar mengendalikan emosi dan memahami bahwa hidup tidak selalu sesuai keinginannya.

Kata ‘tidak’ yang disampaikan dengan hangat dan jelas adalah fondasi untuk mengajarkan kontrol diri serta batasan sosial yang sehat.

Sebagai contoh, Mama dapat mengatakan “Mama ngerti kamu mau mainan itu, tapi hari ini kita gak beli, ya. Kamu nangis juga kita tetap tidak akan beli,” saat anak mama menangis minta dibelikan mainan baru.

Nah, itulah 7 pola asuh yang bikin anak merasa dirinya raja. Semoga informasi tersebut bisa menjadi panduan bagi Mama untuk menghindari pola asuh permisif, ya!

Share
Editorial Team