Sejarah Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar, Ini Kronologinya

Hari ini, tepatnya 56 tahun yang lalu, Presiden Indonesia Sukarno dengan enggan menandatangani dekrit yang memberikan wewenang penuh kepada Panglima Angkatan Darat Jenderal Suharto untuk memulihkan ketertiban, melindungi Sukarno dan menjaga revolusi Indonesia.
Dekrit ini kemudian menjadi awal babak baru dalam sejarah Indonesia (Orde Baru) sebagai penanda peralihan kekuasaan eksekutif dari Sukarno ke Suharto yang dikenal sebagai Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).
Di bawah ini Popmama.com sudah merangkum sejarah surat perintah 11 Maret. Yuk, disimak sejarah Supersemar berikut ini!
1. Apa itu surat perintah 11 Maret?

Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) adalah sebuah dokumen yang ditandatangani oleh Presiden Indonesia Sukarno pada 11 Maret 1966.
Dokumen ini memberikan wewenang kepada komandan tentara Letnan Jenderal Suharto untuk mengambil tindakan apa pun yang "dianggap perlu" untuk memulihkan ketertiban situasi kacau selama genosida di Indonesia tahun 1965-66.
Singkatan "Supersemar" adalah plesetan dari nama Semar, sosok mistik dan sakti yang biasa muncul dalam mitologi Jawa termasuk pertunjukan wayang.
Diperkirakan penggunaan istilah Semar dipakai untuk melegitimasi kekuasaan Suharto selama transisi kekuasaan Sukarno ke Suharto dengan manfaatkan mitologi Jawa.
Dokumen Supersemar dapat terbit karena adanya konflik politik dan ekonomi yang mengguncang Indonesia pada tahun 1960-an, terutama setelah Sukarno memberlakukan Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959.
Demokrasi Terpimpin mulai berjalan untuk menggantikan demokrasi liberal (1950-1959), namun setelahnya keadaan stabilitas nasional malah memburuk dalam jangka waktu pendek.
Demokrasi Terpimpin menyiratkan bahwa presiden memiliki peran yang kuat dengan kecenderungan otoriter yang mirip dengan isi UUD 1945 (yang telah berlaku sebelum eksperimen negara dengan demokrasi liberal).
Hingga saat ini, ada banyak partai politik yang saling berlawanan dan juga memiliki pengaruh di Indonesia, di antaranya adalah parta nasionalis, partai Islam, komunis, dan tentara.
Melalui Demokrasi Terpimpin, Sukarno berpikir bahwa masalah ketegangan politik karena perbedaan ideologi ini dapat diatasi.
Ia menciptakan "Nasakom", sebuah konsep yang mengacu pada penyatuan antara tiga aliran ideologis terpenting dalam masyarakat Indonesia pada 1950-an dan awal 1960-an: nasionalisme, agama, dan komunisme.
Ada satu hal penting yang luput dari ide pembentukan Nasakom, yaitu ketiga kelompok besar ini hampir tidak memiliki persamaan secara ideologi. Ketika aliran ini bahkan membenci satu sama lain.
Pembentukan Nasakom ini membuat stabilitas negara menjadi tergantung kepada kekuatan politik dan statusnya sebagai pahlawan nasional untuk mengawasi jalannya Nasakom, dan di saat yang bersamaan pelu juga menjaga kekuatan tentara RI agar tidak menjadi terlalu kuat.
2. Latar belakang politik di balik Supersemar

Ketegangan antara tentara, komunis, nasionalis dan kelompok Muslim makin lama makin meningkat dan malah berujung pada kudeta yang tidak Suharto antisipasi.
Pada sore hari tanggal 30 September 1965 enam jenderal angkatan darat dan seorang letnan diculik dan dibunuh oleh sekelompok perwira kiri yang menamakan diri Gerakan 30 September (G30S). Diduga, tujuh perwira militer yang terbunuh ini merencanakan kudeta untuk menggulingkan Sukarno.
Namun, tidak pernah ada bukti yang jelas bahwa tujuh perwira ini merencanakan kudeta militer terhadap Sukarno.
Selain itu, juga tidak ada bukti yang jelas bahwa Partai Komunis (PKI) berada di balik serangan pendahuluan untuk mencegah kudeta militer.
Namun, Suharto, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Komando Cadangan Strategis (Kostrad), langsung menyalahkan PKI. Dengan cepat, orang yang dianggap terkati dengan partai komunis dibantai di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Sumatera Utara.
Perkiraan jumlah korban bervariasi antara 400.000 dan satu juta orang yang meninggal dunia.
Diduga pelaku dari genosida komunis adalah satuan tentara, geng sipil (yang menerima persenjataan dari satuan tentara) dan militan sayap pemuda Ansor Nahdlatul Ulama (partai politik). Pembunuhan ini berlanjut hingga tahun 1965 dan 1966.
Sementara itu, mulai awal 1966, tentara mengorganisir demonstrasi mahasiswa anti-Sukarno sebagai upaya untuk meningkatkan kekacauan di ibu kota Jakarta dan dengan demikian meningkatkan tekanan terhadap Sukarno.
Dalam keadaan yang tidak bersahabat ini Sukarno dengan enggan menandatangani dekrit Supersemar atas desakan tentara. Penandatanganan berlangsung di Istana Kepresidenan Bogor, 60 kilometer selatan Jakarta.
Sekarang memiliki kekuasaan yang luas, Suharto dengan cepat melarang partai komunis PKI pada hari berikutnya, dan sekitar satu minggu kemudian lima belas menteri loyalis Sukarno ditangkap oleh tentara.
Suharto kemudian mengubah komposisi Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan hampir satu tahun kemudian MPRS ini memilih untuk menghapus semua kekuatan politik Sukarno dan mengangkat Suharto sebagai penjabat presiden negara yang baru.
Dalam dua tahun setelah penandatanganan Supersemar, Suharto telah memperoleh semua kekuasaan dan telah menjadi presiden kedua Indonesia (posisi yang akan dipegangnya hingga Mei 1998).
Menurut Hanafi, teman dekat Sukarno dan duta besar untuk Kuba, ia berdiskusi dengan Sukarno di Istana Bogor pada 12 Maret lalu. Ia menulisnya dalam buku Menggugat Kudeta: Jend. Soeharto dari Gestapu ke Supersemar.
Sukarno marah karena Supersemar digunakan untuk melarang PKI, karena itu adalah hak prerogatif presiden untuk melarang partai politik.
Kemudian Sukarno telah meminta Wakil Perdana Menteri Ketiga Johannes Leimena untuk memberikan perintah tertulis kepada Suharto, dan bahwa dia akan menunggu untuk melihat apa reaksi Suharto – apakah dia akan mematuhinya atau tidak.
Selain itu, Sukarno juga meminta Hanafi untuk membantu Wakil Perdana Menteri Ketiga Chaerul Saleh dan Wakil Perdana Menteri Pertama Subandrio. Kedua orang itu menunjukkan Hanafi "Perintah 13 Maret".
Perintah tersebut menyatakan bahwa Perintah 11 Maret bersifat teknis dan administratif, bukan politik, untuk memperingatkan Jenderal Suharto bahwa ia tidak akan melakukan tindakan apapun di luar Supersemar.
Perintah ini juga meminta Suharto untuk melaporkan kepada presiden di istana.
Saleh berencana membuat salinan perintah tersebut dan membagikannya kepada anggota setia pengawal istana dan para pengikut muda Sukarno.
Hanafi mengatakan 5.000 eksemplar telah dibuat, dan bahwa dia membawa beberapa kembali ke Jakarta bersamanya, tetapi dia tidak tahu apa yang terjadi dengan yang lainnya.
Dalam biografi resmi Suharto, juga dikatakan bahwa Sukarno mempertanyakan penggunaan Supersemar yang dilakukan Suharto dan mengirim Leimena, untuk meminta Suharto bertanggung jawab atas tindakannya.
Hanafi mengatakan bahwa Suharto mengirim pesan kembali melalui Leimena, yang kembali ke Bogor malam itu, mengatakan bahwa dia akan bertanggung jawab atas tindakannya.
Selain itu, Suharto juga mengabari kalau beliau tidak dapat datang ke Bogor karena perlu menghadiri pertemuan semua komandan militer jam 11 di hari esoknya, yang sebenarnya juga Sukarno hadiri.
3. Kontroversi Supersemar

Setelah lewat 56 tahun penandatanganan Supersemar, tak sedikit orang yang ragu dan curiga dengan situasi penandatanganan dokumen Supersemar itu sendiri.
Salah satu kejanggalan yang pengamat sadari adalah orang Indonesia biasanya mengakhiri dokumen dengan tempat dan tanggal penandatanganan dokumen.
Mengingat Supersemar seharusnya ditandatangani di Bogor, Supersemar ditandatangani di "Djakarta".
Dalam kisahnya tentang peristiwa Maret 1966, Hanafi mengatakan bahwa dia pergi ke Bogor pada 12 Maret dan bertemu dengan Sukarno.
Sukarno mengatakan kepada Hanafi bahwa Suharto telah mengirim tiga jenderal dengan sebuah dokumen yang telah mereka siapkan untuk Sukarno tanda tangani.
Sukarno merasa dia harus menandatanganinya karena beliau merasa terpojok, tetapi para jenderal telah berjanji untuk membela Sukarno dan perintah itu tidak akan disalahgunakan.
Namun, Martoidjojo, Komandan Pengawal Presiden, yang pergi bersama Soekarno dengan helikopter ke Bogor, mengatakan bahwa Supersemar diketik di Bogor oleh ajudan dan sekretaris militer Sukarno, Brig. Jenderal Mochammed Sabur. Djamaluddin membenarkan hal itu.
Selain itu, isi dokumen Supersemar itu sendiri dapat terdengar seperti ancaman, terutama pada bagian yang berbunyi "menjamin keselamatan pribadi dan wibawa pimpinan" Sukarno.
Namun, pada tahun 1998, muncul tuduhan ancaman lebih jelas yang dilakukan kepada Sukarno, yaitu bahwa dua anggota pengawal presiden telah melihat Jenderal M. Jusuf dan Jenderal M. Panggabean, asisten kedua menteri Angkatan Darat, menodongkan pistol mereka ke Sukarno.
M. Jusuf dan lain-lain telah membantahnya. Mereka meragukan kredibilitas bagian-bagian penting dari tuduhan itu, dan mengatakan bahwa tidak mungkin kedua orang itu secara fisik berada dekat dengan presiden pada saat itu.
Salah satu kesulitan dalam penelitian sejarah tentang Supersemar adalah dokumen aslinya tidak dapat ditemukan lagi.
Ketika Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri saat itu memerintahkan Arsip Nasional Indonesia untuk menemukannya, mereka melaporkan bahwa mereka hanya memiliki dua salinan, satu dikeluarkan oleh Pusat Penerangan Angkatan Darat dan satu lagi oleh Sekretaris Negara.
Tak hanya itu, ternyata terdapat perbedaan yang signifikan di antara kedua versi dokumen tersebut.
Salah satu publikasi yang muncul sejak jatuhnya Suharto menunjukkan bahwa ada lebih dari satu versi dokumen Supersemar.
Bahkan sebelum jatuhnya Suharto, sebuah publikasi resmi untuk memperingati 30 tahun kemerdekaan Indonesia juga memiliki dua versi Supersemar yang berbeda.
Hingga kini, kebenaran dari sejarah surat perintah 11 maret masih menjadi misteri bagi sejarawan maupun masyarakat. Meski begitu, informasi inilah yang kita miliki saat ini.
Baca Juga:



















