Baca artikel Popmama lainnya di IDN App
For
You

IDAI: Anak Di Bawah 2 Tahun Sebaiknya Tidak Diberi Screentime

Ss Webinar
Popmama.com/Imtiyaz Putri

Ma, selama ini kita menyadari betul betapa gadget itu sangat rentan bagi anak. Pemberian gadget yang berlebihan adalah hal yang berbahaya. Digital safety adalah hal yang harus selalu kita usahakan karena dunia digital ini bisa jadi sangat mengancam tumbuh kembang anak.

Pernahkah Mama bertanya-tanya, apa saja dampak screentime ini jika diberikan kepada anak yang lebih kecil, seperti balita atau di bawahnya?

Mungkin di benak Mama kadang terpikirkan, "Ah gapapa, hanya untuk selingan,".

Nah, Mama perlu ketahui, pada pertemuan Seminar Media Ikatan Anak Indonesia bertajuk ‘Digital Safety pada Anak’ yang diselenggarakan pada (03/06/2025) lalu, dijelaskan bahwa ketelodoran itu seringkali membawa kepada dampak yang sangat signifikan sebab anak umur itu sedang dalam puncaknya perkembangan.

Ma, ayo simak penjelasan dari dr. Farid Agung Rahmadi, Msi.Med,Sp.A,Subsp.TKPS(K) di artikel Popmama.com ini mengenai digital safety pada anak di bawah 2 tahun. Simak sampai selesai ya, Ma!

Akibat excessive screentime pada anak usia di bawah 2 tahun

Bayi memegang laptop
Pexels/Kaboompics.com

Paparan screentime secara berlebihan pada anak usia di bawah dua tahun bisa berdampak serius terhadap tumbuh kembang otaknya. Saat ini, banyak tayangan digital ditujukan untuk anak di bawah usia 12 atau 18 bulan. 

Tren ini terus meningkat, sebagian besar didorong oleh kepentingan ekonomi, dan sering kali justru dibungkus dengan label edukatif yang menyesatkan karena belum diteliti dengan baik.

Orangtua pun kerap ditawarkan program yang diklaim bisa menstimulasi kecerdasan, seperti berbagai tontonan yang diklaim membuat anak cepat menguasai bahasa asing. 

Padahal, apa pun bentuk paparannya, tetap ada batasan yang perlu diperhatikan. Banyak orangtua mengizinkan anaknya mengakses gadget karena dianggap membantu proses pengasuhan. Misalnya, video-video yang ditonton dapat memberikan experience baru yang tidak bisa diberikan oleh orangtua secara langsung. Namun, benarkah ini bentuk stimulasi yang baik?

Menurut dr. Farid, justru anak usia balita, terutama yang berusia di bawah dua tahun, adalah kelompok yang paling rentan terhadap dampak buruk screentime. 

 “Ketika terjadi gangguan saat perkembangan kurang dari usia 2 tahun itu akibatnya banyak sekali. Paparan screentime ini mengurangi kuantitas dan kualitas hubungan dengan orangtua. Episode bermain mereka juga jadi lebih pendek, kompleksitas bermain mereka menjadi kurang, dan fokus perhatian mereka juga kurang karena tersita dengan adanya screentime,” jelas dr. Farid.

Di usia ini, otak anak sedang berada pada masa plastisitas tertinggi, yaitu masa perkembangan yang sangat pesat dan mudah dipengaruhi. Ketika terjadi gangguan pada masa ini, dampaknya bisa sangat besar. 

Salah satunya adalah menurunnya kualitas dan kuantitas interaksi anak dengan orangtua. Anak menjadi lebih jarang bermain, waktu bermain mereka lebih singkat, tingkat kompleksitas dalam bermain menurun, dan perhatian mereka mudah teralihkan karena terlalu sering terpapar layar. 

Akibatnya, kesempatan anak untuk tumbuh lewat interaksi langsung dan eksplorasi dunia nyata pun ikut berkurang.

Dampak Jangka Pendek dan Dampak Jangka Panjang

Dampak jangka panjang dan pendek
Popmama.com/Imtiyaz Putri

Dalam jangka pendek (kurang dari lima tahun) paparan screentime yang berlebihan dapat menyebabkan berbagai hambatan perkembangan pada anak. Salah satunya adalah keterlambatan keterampilan motorik, baik motorik kasar maupun halus, serta gangguan perkembangan bahasa dan bicara. 

Banyak anak yang terpapar screentime berlebihan justru mengalami keterlambatan tumbuh kembang, bukan kemajuan seperti yang sering diasumsikan. Anak juga bisa mengalami gangguan kognitif, menjadi hiperaktif, sulit fokus, serta menunjukkan perilaku agresif dan mudah tantrum. 

Mereka cenderung lebih mudah mengganggu anak lain, dan mengalami gangguan tidur (sleeping disorder), yang berdampak pada pola istirahat dan emosi harian mereka.

Jika kebiasaan ini tidak dihentikan, dampak jangka panjangnya (dirasakan setelah lebih dari lima tahun) akan semakin kompleks lagi.

“Anak bisa mengalami hiperaktivitas yang semakin parah, kesulitan belajar di sekolah akibat sulit fokus, serta menjadi lebih rentan terhadap perundungan (bullying). Mereka juga berisiko mengalami obesitas karena kurang gerak, terutama jika duduk diam menatap layar lebih dari satu jam tanpa jeda,” lanjut dr. Farid.

Obesitas ini, jelasnya, bisa memicu munculnya penyakit tidak menular, seperti diabetes dan hipertensi, apalagi jika diiringi kebiasaan mengonsumsi makanan tidak sehat yang kerap muncul bersamaan dengan waktu screentime.

Bahaya dari Artificial Blue Light

Anak bermain ponsel bersama ibu
Pexels/Helena Lopes

Tidur yang cukup sangat penting bagi anak, karena pada masa tidur inilah proses pertumbuhan sel berlangsung lebih cepat. 

Namun, ketika anak terlalu sering terpapar screentime, waktu tidurnya bisa berkurang secara signifikan. Salah satu penyebabnya adalah paparan artificial blue light yang dikeluarkan dari layar gadget. 

Sinar ini dapat memengaruhi otak dengan meningkatkan kewaspadaan dan aktivitas, sehingga menghambat produksi hormon melatonin, yaitu hormon yang berperan dalam mengatur siklus tidur. 

“Ketika melatonin ditekan, anak menjadi sulit untuk tidur nyenyak. Efek ini bahkan lebih besar pada anak dibandingkan orang dewasa, karena ukuran pupil mata anak lebih besar sehingga lebih banyak menyerap cahaya,” ungkap dr. Farid.

Gangguan tidur yang terus-menerus ini kemudian dapat memicu masalah perilaku lain, seperti mudah marah, sulit konsentrasi, hingga tantrum.

Benarkah Banyak Menonton Justru Tingkatkan Kemampuan Bahasa Anak?

Anak sedang berinteraksi dengan perempuan
Pexels/ Anastasiya Gepp

Banyak yang mengira bahwa screentime mampu membantu anak cepat menguasai bahasa, termasuk bahasa asing. 

Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Ketika anak terlalu lama menonton, mereka justru kehilangan kesempatan untuk mendapatkan stimulasi bahasa yang lebih efektif, yaitu melalui interaksi langsung. 

“Ada transfer deficit, yaitu kesulitan anak dalam menerapkan pengetahuan baru yang didapat dari media digital ke dalam kehidupan nyata. Dengan kata lain, anak akan lebih mudah dan cepat memahami bahasa jika belajar langsung dari orang lain, bukan dari layar,” lanjut dr. Farid

Selain itu, screentime juga dapat mengurangi interaksi antara anak dan pengasuh. Ketika gadget diambil atau dibatasi, anak melakukan penolakan, rewel, merasa lebih tertarik pada gadget dibandingkan berkomunikasi dengan orang di sekitarnya. Hal ini justru dapat menghambat perkembangan kemampuan bahasanya.

Lalu, bagaimana dengan program edukasi yang memang dirancang untuk mendukung perkembangan linguistik anak? Beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Kaiser Family Foundation, Gilkerson dalam Journal of Pediatrics, dan Hudo TM dalam Infant Behavior and Development tahun 2013, menunjukkan bahwa konten edukatif mungkin memiliki manfaat. 

Namun, hasilnya bervariasi tergantung pada jenis konten yang ditonton, sehingga tidak bisa disimpulkan secara umum. Konten edukasi yang baik adalah konten yang interaktif, mendorong anak untuk merespons secara verbal, bukan sekadar menonton secara pasif.

Yang tidak kalah penting adalah pendampingan dari orangtua. Ini menjadi faktor protektif yang bisa membantu mengurangi dampak negatif screentime.

Meski begitu, pendampingan tidak boleh sekadar simbolis dilakukan. Orangtua harus benar-benar hadir dan aktif, lebih dari 50% keterlibatan selama anak menonton. Hindari membiarkan anak menggunakan gadget sendirian (solitary gadget use), karena ini justru memperkecil peran pengasuhan dan mengurangi manfaat yang mungkin bisa diperoleh dari konten tersebut.

Lalu, Rekomendasinya Bagaimana?

Anak dan ibu sedang video call
Pexels/Helena Lopes

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merekomendasikan agar anak usia di bawah 1 tahun sama sekali tidak diberikan screentime

Untuk anak usia 1 hingga 2 tahun, screentime hanya diperbolehkan dalam bentuk video call, misalnya saat menelepon keluarga, dan itu pun dilakukan dengan pendampingan orangtua.

Sementara anak usia 2 hingga 6 tahun boleh mendapat screentime, tapi dibatasi maksimal di bawah 1 jam per hari. 

Setiap sesi screentime harus disertai dengan pendampingan aktif dari orangtua, bukan hanya sekadar menemani. Selain itu, konten yang dipilih harus berkualitas, edukatif, dan jauh dari unsur kekerasan.

“Orangtua direkomendasikan harus mampu menciptakan berbagai aktivitas alternatif untuk membatasi screentime,” tambah dr. Farid.

Matikan semua perangkat jika tidak digunakan, dan tentukan waktu bebas media bersama keluarga. Misalnya, buatlah peraturan saat makan malam, tidak boleh ada yang memegang ponsel. Ini juga berlaku untuk orangtua.

Pentingnya Peran Negara

Anak sedang nonton di tablet
Pexels/Tuan PM

Dunia digital membawa berbagai tantangan serius bagi anak-anak. Mulai dari kecanduan screen time, keterlibatan dalam perjudian online (judol), paparan konten pornografi, perundungan siber (cyberbullying), hingga iklan predator yang tersembunyi di balik aplikasi dan gim yang dengan mudah diakses oleh anak-anak. Salah satu isu paling krusial adalah lemahnya perlindungan terhadap data pribadi anak. 

“Meskipun Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi telah disahkan pada tahun 2022, implementasinya masih jauh dari ideal. Data anak-anak, yang seharusnya menjadi yang paling dilindungi, justru rawan dieksploitasi,”  tegas Dr.dr.Piprim B. Yanuarso,Sp.A,Subsp.Kardio(K), sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI.

Banyak aplikasi, termasuk platform belajar dan media sosial, secara pasif mengumpulkan data anak-anak lalu menjualnya untuk kepentingan komersial tanpa persetujuan orangtua.

Minimnya akuntabilitas membuat praktik ini terus berlangsung. Di sinilah peran negara menjadi sangat penting. Negara harus hadir, mengawasi, dan memastikan adanya regulasi yang tegas serta perlindungan nyata bagi anak-anak di ranah digital.

Seperti yang ditegaskan oleh dr. Piprim B. Yanuarso selanjutnya, “Apabila negara tidak hadir, maka anak Indonesia akan selalu menjadi korban eksploitasi digital.”

Ma, itu dia beberapa informasi mengenai digital safety pada anak di bawah 2 tahun. Mari kita bersama-sama ciptakan dunia anak yang lebih ceria dengan lebih sedikit screentime itu yuk, Ma!

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Novy Agrina
EditorNovy Agrina
Follow Us