Sabar, Pahami 7 Tantangan yang Dihadapi Toddler dalam Perkembangannya

Mengasuh anak usia toddler memang bukan perkara mudah. Tak jarang, kita dibuat lelah menghadapi emosinya yang naik-turun, tangisannya yang meledak-ledak, hingga tantrum yang datang tiba-tiba.
Kadang kita pun bingung, sebenarnya mereka ingin apa? Wajar jika perasaan kesal muncul. Namun percayalah, Ma, anak tidak tantrum karena keinginannya sendiri. Sama seperti kita yang dulu pernah belajar memahami dunia, mereka pun sedang dalam proses mengeksplorasi dan mengenal lingkungan di sekitarnya.
Dunia yang bagi kita mungkin sudah terasa biasa, bagi mereka masih penuh kejutan dan tantangan. Di sinilah peran kita sebagai orang tua sangat penting: membimbing mereka melalui masa perkembangan yang penuh gejolak ini.
Dalam artikel ini, Popmama.com akan membahas 7 tantangan yang dihadapi toddler, agar Mama bisa lebih memahami apa saja yang sebenarnya sedang anak Mama alami di tahap tumbuh kembangnya saat ini.
1. Toddler belum memahami konsep waktu

Anak usia toddler belum memahami konsep waktu sebagaimana orang dewasa memahaminya.
Mereka hidup sepenuhnya di saat ini, saat sekarang. Mereka belum bisa mengerti makna menunggu atau mengikuti jadwal tertentu. Itulah sebabnya, transisi dari satu kegiatan ke kegiatan lain seringkali terasa sulit bagi mereka.
Anak di bawah usia 7 tahun pada dasarnya belum memiliki pemahaman yang utuh tentang jam, menit, detik, bahkan hari. Maka, kalimat seperti “5 menit lagi!”, “Kita akan pergi dalam 1 menit,” atau “Kamu harus tidur sampai jam 7 pagi,” sebenarnya tidak memberi makna apa pun bagi mereka, kecuali jika kita menyampaikannya dengan cara yang bisa mereka pahami.
Anak-anak masih sangat baru di dunia ini dan sedang belajar mengenali kehidupan dari apa yang mereka lihat dan alami secara langsung.
Bahkan, Ma, mereka di umur itu baru saja memahami konsep "object permanence", yaitu menyadari bahwa seseorang tidak benar-benar hilang ketika mereka berpura-pura ‘hilang’, seperti saat bermain cilukba.
Jadi, tidak heran jika mereka bingung saat mendengar peringatan “1 menit lagi” bermain di taman, lalu tiba-tiba harus pulang, karena bagi mereka, waktu masih merupakan konsep yang abstrak.
Kesenjangan antara pemahaman orang dewasa dan anak tentang waktu inilah yang sering menimbulkan tantangan saat Mama dan anak ingin berpindah tempat atau kegiatan. Seperti dijelaskan oleh Dr. Jane Gilmour, Konsultan Psikolog Klinis di Rumah Sakit Great Ormond Street,
“Kita tampaknya memang sudah memiliki naluri untuk merasakan waktu. Bayi bahkan sudah bisa mengenali urutan peristiwa sejak usia satu bulan. Namun, pemrosesan waktu yang lebih kompleks seperti memahami masa lalu dan masa kini membutuhkan waktu lebih lama untuk berkembang. Hal ini bisa jadi karena bagian otak yang mengatur pemahaman waktu berkembang dalam laju yang berbeda seiring pertumbuhan anak.” jelasnya.
2. Tantrum terjadi di luar kendali anak

Ledakan emosi atau tantrum pada anak usia dini bukanlah perilaku yang disengaja.
Anak-anak, terutama toddler, belum memiliki kemampuan regulasi emosi yang matang. Ketika mereka merasa frustrasi atau terlalu banyak menerima rangsangan (overstimulasi), mereka bisa dengan mudah mengalami ledakan emosi. Tantrum sendiri sangat umum terjadi pada anak usia 1–3 tahun.
Pada usia ini, anak masih berada dalam tahap awal perkembangan sosial, emosional, dan bahasa. Mereka belum mampu sepenuhnya mengungkapkan kebutuhan dan perasaannya, termasuk keinginan untuk melakukan sesuatu secara mandiri.
Ketidakmampuan ini sering kali membuat mereka frustrasi. Di sisi lain, mereka juga sedang belajar bahwa perilaku mereka bisa memengaruhi orang-orang di sekitarnya. Tantrum menjadi salah satu cara bagi anak untuk mengekspresikan dan mengelola emosinya.
Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan tantrum pada anak, baik pada toddler maupun anak yang lebih besar. Salah satunya adalah temperamen. Setiap anak memiliki tingkat kepekaan yang berbeda terhadap perubahan atau situasi yang membuat frustrasi. Ada anak yang lebih mudah terganggu dan menunjukkan reaksi emosional yang lebih kuat daripada yang lain.
Selain itu, situasi yang tidak bisa mereka atasi, seperti ketika mainannya direbut oleh anak lain, juga dapat memicu tantrum. Emosi kuat seperti cemas, takut, malu, atau marah pun bisa terasa sangat luar biasa bagi anak kecil.
Untuk membantu meminimalkan tantrum, Mama bisa mulai membantu anak memahami emosinya sejak dini.
Salah satu caranya adalah dengan mengenalkan kosakata emosi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dengan menyebutkan kata-kata seperti “senang”, “sedih”, “kesal”, “lelah”, “lapar”, atau “nyaman”.
Semakin anak mengenali perasaannya, semakin besar kemungkinan mereka bisa mengungkapkannya dengan cara yang lebih baik daripada melalui tantrum.
3. Sering disalahpahami

Banyak perilaku toddler sering disalahartikan oleh orang dewasa sebagai perilaku bandel da nakal. Padahal, pada kenyataannya, anak-anak di usia ini masih kesulitan untuk mengungkapkan kebutuhan atau perasaannya dengan kata-kata.
Kemampuan komunikasi mereka belum berkembang sepenuhnya, sehingga ketika mereka tidak bisa menyampaikan apa yang mereka inginkan atau rasakan, rasa frustrasi pun muncul.
Di momen seperti ini, tantrum atau perilaku ‘rewel’ ini adalah tanda bahwa mereka kewalahan.
Misalnya, saat Mama hendak pergi dan tiba-tiba si kecil memeluk kaki erat-erat seolah tidak mau dilepas. Mungkin terlintas pikiran, “Kenapa sih nggak bisa main sendiri aja?”. Tapi sebenarnya, pelukan erat itu adalah bentuk kepercayaan dan rasa aman mereka kepada Mama.
Bagi mereka, Mama adalah tempat ternyaman. Ketika mereka merasa cemas atau rentan, mereka mencari kehadiran Mama sebagai sumber ketenangan.
Ini menandakan adanya ikatan emosional yang kuat. Memberi pelukan, membawakan benda favoritnya, atau selalu memberi tahu mereka sebelum Mama pergi bisa membantu mereka merasa aman untuk melepaskan Mama.
Hal yang sama terjadi pula saat mereka menangis kencang, menjerit, atau berguling-guling di tempat umum. Momen tantrum anak yang sering membuat kita ingin cepat-cepat menghilang dari pandangan orang.
Namun perlu diingat, tantrum seperti ini bukan karena mereka nakal. Sebenarnya, mereka sedang kewalahan menghadapi perasaan besar seperti marah, sedih, atau kecewa. Otak mereka belum cukup matang untuk memproses semua emosi itu secara tenang.
Daripada memarahi, lebih baik bantu mereka menenangkan diri. Katakan, “Kamu lagi kesal banget, ya? Mama di sini, kok.” Dengan pendekatan seperti ini, anak akan belajar cara mengenali dan mengatur emosinya.
4. Ingin menyentuh segalanya

Rasa ingin tahu yang tinggi mendorong anak-anak, terutama toddler, untuk menjelajahi dunia melalui sentuhan fisik.
Mereka ingin meraba, meraih, dan memegang apa saja yang ada di sekitar mereka. Di umur itu, mereka menjadi lebih clingy. Di balik perilaku ini, ada dorongan alami untuk memahami lingkungan serta mencari kenyamanan emosional.
Jadi, ketika anak terlihat suka "menempel" atau ingin menyentuh segala hal, itu bukan hanya karena rasa ingin tahu, tapi juga karena mereka sedang mencari rasa aman dari orang yang mereka percaya.
5. Kebingungan mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan

Anak usia toddler sering kali bingung membedakan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Mereka belum sepenuhnya memahami batasan, sehingga pelanggaran aturan yang terjadi biasanya bukan karena sengaja, melainkan akibat kurangnya pemahaman.
Di usia ini, anak masih berada dalam tahap awal perkembangan kognitif, sehingga mereka belum sepenuhnya mengerti hubungan sebab-akibat. Mereka belum bisa memahami alasan di balik aturan, mengapa satu tindakan boleh dilakukan, sementara yang lain tidak.
Selain itu, jika aturan yang diterapkan tidak konsisten, anak akan makin sulit memahami mana perilaku yang selalu dilarang dan mana yang kadang-kadang diperbolehkan.
Batasan yang jelas dan konsisten akan membantu mereka belajar lebih cepat. Perilaku toddler juga sangat dipengaruhi oleh dorongan impulsif karena kemampuan mereka untuk mengatur diri sendiri (self-regulation) masih dalam tahap berkembang. Mereka cenderung bertindak spontan tanpa mempertimbangkan konsekuensinya.
Pada dasarnya, anak belajar melalui eksplorasi dan percobaan. Mereka akan terus menguji batasan yang ada untuk memahami bagaimana dunia bekerja dan bagaimana orang dewasa merespons tindakan mereka.
Namun, pemahaman mereka terhadap konsep abstrak masih terbatas. Instruksi seperti “jangan nakal” atau “berperilakulah dengan lembut” bisa terdengar membingungkan bagi mereka.
Anak-anak merespons lebih baik terhadap arahan yang konkret, sederhana, dan disertai dengan contoh langsung.
6. Kesulitan diam di tempat

Anak usia toddler dikenal memiliki energi yang sangat tinggi dan cenderung sulit untuk duduk diam dalam waktu lama. Hal ini membuat aktivitas yang tenang atau berada di lingkungan yang terstruktur, seperti ruang kelas atau acara formal, menjadi tantangan tersendiri.
Faktanya, anak-anak memang secara alami "dirancang" untuk bergerak. Di usia-usia awal ini, otak mereka sedang membentuk koneksi penting antara gerakan tubuh dan fungsi kognitif atau proses yang dikenal sebagai integrasi otak dan tubuh.
Aktivitas fisik merangsang dua sistem sensorik utama yang krusial dalam perkembangan anak, yaitu sistem vestibular yang berperan dalam keseimbangan, orientasi ruang, dan koordinasi, serta sistem proprioseptif yang membantu kesadaran tubuh dan kontrol gerak tubuh.
Ketika anak bergerak, kedua sistem ini diaktifkan dan berkontribusi besar dalam pengembangan berbagai kemampuan penting, seperti fokus dan rentang perhatian, pengendalian diri dan emosi, serta kekuatan inti tubuh, keseimbangan, dan koordinasi tubuhnya.
Gerakan fisik juga dapat meningkatkan kadar brain-derived neurotrophic factor (BDNF), yaitu protein yang mendorong pertumbuhan dan konektivitas sel-sel otak. Inilah salah satu alasan mengapa aktivitas fisik sangat penting bagi anak.
7. Belum paham bahwa mereka melakukan kesalahan

Pada dasarnya, anak-anak di usia ini belum bisa secara otomatis menghubungkan tindakan mereka dengan akibat yang muncul.
Mereka belum paham, misalnya, bahwa merebut mainan bisa membuat temannya sedih, atau bahwa berteriak di tempat umum bisa mengganggu orang lain.
Konsep konsekuensi, baik konsekuensi positif maupun negatif, berperan penting dalam membantu anak memahami perilaku mana yang pantas dan mana yang sebaiknya dihindari.
Menurut data CDC tahun 2024, pemberian aturan mengenai konsekuensi yang konsisten dapat memperkuat pemahaman anak terhadap batasan dan aturan sosial.
Namun karena kemampuan mereka untuk memahami hubungan antara tindakan dan akibat masih terbatas, peran orangtua dalam membimbing mereka sangat krusial.
Pendampingan yang sabar dan konsisten akan membantu anak secara perlahan belajar bahwa setiap tindakan membawa dampak. Dari pemahaman mengenai konsekuensi inilah mereka mulai membangun sistem nilai mengenai yang mana yang benar dan yang mana yang salah.
Ma, itulah dia 7 tantangan yang dihadapi toddler. Semoga dengan ini, Mama menjadi lebih terkoneksi lagi dengan emosi dan perasaan anak. Semangat, Ma!