Baca artikel Popmama lainnya di IDN App
For
You

Terapkan Positive Discipline, Hindari 6 Praktik Ini

Anak dan ibu sedang tertawa melihat bunga
Pexels/Angela Schafer

Di zaman sekarang, mendidik anak dengan cara yang keras dan otoriter atas dasar bahwa mereka harus belajar ‘disiplin’ sudah tidak lagi relevan. 

Ketegasan memang tetap diperlukan dalam beberapa situasi, namun hal itu harus dibarengi dengan rasa tanggung jawab dan pendekatan yang penuh kasih sayang.

Dalam proses mendidik, penting bagi kita untuk meminimalisir rasa takut dan menggantinya dengan lingkungan yang tumbuh dengan cinta. 

Bagaimanapun juga, kekerasan tidak mengajarkan apa pun kepada anak, yang muncul justru trauma dan luka emosional.

Sebagai gantinya, Mama bisa mencoba pendekatan positive discipline saat mengingatkan atau mendidik anak. Sudahkah Mama mengenal apa itu positive discipline?

Secara dasar, positive discipline bukan sekadar kumpulan aturan, tetapi merupakan filosofi yang bertujuan menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak. 

Ini adalah pendekatan parenting yang fokus dalam mengajarkan mereka pentingnya kebaikan dan empati. Gaya parenting ini mengajak orangtua untuk tidak hanya berfokus pada benar atau salah, tetapi juga memahami alasan di balik perilaku anak, serta belajar meresponsnya dengan kesabaran, rasa ingin tahu, dan kasih sayang.

Istilah positive discipline pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Jane Nelsen. Inti dari pendekatan ini adalah bahwa parenting bertujuan untuk mengajarkan mereka akan sesuatu, bukan untuk menghukum.

Lalu, praktik parenting otoriter seperti apa yang sebaiknya dihindari jika Mama ingin menerapkan positive discipline? Simak artikel Popmama.com berikut mengenai 6 hal yang perlu dihindari untuk terapkan positive discipline. Yuk, simak baik-baik, Ma!

1. Spanking/hukuman fisik

Anak menyesali perbuatannya
Pexels/Esra

Spanking adalah bentuk hukuman fisik yang dilakukan dengan cara memukul anak, mencubit, menampar, atau melakukan tindakan fisik lainnya sebagai strategi disiplin.

Meskipun masih dianggap wajar di beberapa budaya, spanking sebenarnya bisa berdampak negatif terhadap perkembangan emosional anak. 

Penelitian dari Frontiers pada 2024 menunjukkan bahwa hukuman fisik tidak mengajarkan perilaku yang lebih baik, justru meningkatkan risiko trauma, rasa takut, dan perilaku agresif pada anak.

2. Shaming/mempermalukan anak

Dua anak terlihat menyesal
Pexels/Jack 🇺🇦

Shaming berarti membuat seseorang merasa malu atau mempermalukannya melalui kritik atau penghinaan. Tindakan mempermalukan bisa membuat anak kehilangan rasa percaya diri dan merusak harga dirinya. 

Anak yang sering dipermalukan cenderung menyimpan luka batin dan mengalami kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat di masa depan.


3. Fear mongering/menyebar ketakutan

Anak yang menyesal dan ayah di sampingnya bermain ponsel
Pexels/August de Richelieu

Fear mongering adalah tindakan sengaja menimbulkan ketakutan atau kekhawatiran berlebihan kepada anak tentang suatu hal, sering kali tanpa alasan yang jelas dan sebenarnya tidak perlu dilakukan.

Dalam parenting, ini bisa muncul dalam bentuk memberikan ancaman (misalnya: "Kalau kamu nakal, Mama nggak akan sayang kamu lagi") yang membuat anak merasa tidak aman secara emosional. 

Teknik ini tidak efektif karena mendidik anak lewat rasa takut justru mengganggu kepercayaan dan kedekatan emosional antara anak dan orangtua.

4. Punitive timeouts

Anak merenungi apa yang terjadi
Pexels/cottonbro studio

Punitive timeout adalah teknik disiplin di mana anak dipisahkan sementara dari lingkungan tempat perilaku tidak pantas terjadi, biasanya sebagai bentuk hukuman.

Meskipun time-out baik digunakan pada waktu-waktu tertentu, tetap tidak direkomendasikan untuk melakukannya dengan nada menghukum atau penuh emosi (seperti “Diam di kamar, Mama nggak mau lihat kamu!”), anak bisa merasa ditolak dan tidak dicintai. 

Pendekatan ini sebaiknya diganti dengan “cool down”, membuat tenang di kedua belah pihak dan disertai refleksi bersama.

5. Membebani anak dengan emosi orang dewasa

Anak berlari membawa boneka
Pexels/Pixabay

Merujuk pada parentification, yaitu kondisi ketika anak dipaksa mengambil tanggung jawab emosional yang seharusnya menjadi beban orang dewasa.

Misalnya, saat orang tua berkata, “Kamu bikin Mama sedih terus,” anak bisa merasa bersalah karena dianggap penyebab emosi orangtuanya. 

Ini menciptakan tekanan emosional yang berat bagi anak dan bisa mengganggu perkembangan psikologisnya.


6. Mengabaikan kebutuhan anak untuk terhubung secara emosional

Ibu melihat anak
Pexels/Pavel Danilyuk

Ini terjadi ketika kebutuhan anak akan perhatian dan dukungan emosional tidak dipedulikan, sehingga memicu masalah perilaku dan tekanan emosional.

Anak yang merasa tidak diperhatikan atau tidak diterima secara emosional bisa menunjukkan perilaku menantang sebagai bentuk mencari perhatian. 

Sebaliknya, anak yang merasa dilihat, didengar, dan dicintai akan lebih mudah diarahkan dengan pendekatan yang lembut dan konsisten.

Daripada menggunakan 6 hal yang perlu dihindari untuk terapkan positive discipline tadi, Mama justru bisa menggantinya dengan pendekatan yang lebih positif melalui lima prinsip utama: Connection, Modeling, Acceptance, Patience, dan Practice

Membangun koneksi yang hangat dengan anak membantu menciptakan rasa aman dan kedekatan emosional yang membuat anak lebih terbuka dalam membuka perspektifnya.

Memberi contoh yang baik/modeling lewat perilaku sehari-hari juga jauh lebih efektif daripada sekadar memberi perintah atau teguran. 

Penerimaan terhadap emosi dan ketidaksempurnaan anak menunjukkan bahwa cinta Mama tidak bersyarat, yang sangat penting untuk tumbuh kembang emosional mereka. 

Kesabaran juga menjadi kunci, karena bagaimanapun perubahan tidak terjadi dalam semalam. Sama seperti kita, anak juga butuh waktu dan ruang untuk belajar.

Yang terakhir, yaitu praktik. Tentunya penerapan prinsip ini ini adalah proses yang perlu dilatih secara konsisten. Dengan menerapkan pendekatan ini, parenting tidak lagi terlihat menyeramkan. 

Justru, parenting menjadi sarana membentuk karakter dan memperkuat hubungan antara orangtua dan anak.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Novy Agrina
EditorNovy Agrina
Follow Us