Uji Pengetahuan, Sudahkah Mama Kenal 6 Istilah Neurodivergen Ini?

Ma, tahukah Mama bahwa neurodivergen pada anak sebenarnya bisa dideteksi sejak dini? Neurodivergen adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan cara kerja otak yang berbeda dari mayoritas orang; bukan salah, hanya berbeda.
Anak yang memiliki neurodivergen memiliki cara belajar, berkomunikasi, atau merespons lingkungan yang mungkin berbeda pada orang pada umumnya.
Topik tentang neurodivergensi kini semakin banyak dibahas, karena semakin cepat terdeteksi, semakin cepat pula untuk melakukan intervensi dan terapi yang sesuai.
Tujuannya bukan untuk membuat anak "kembali normal", tapi untuk membantu mereka berkembang optimal sesuai dengan potensi dan kebutuhannya.
Nah, sudahkah Mama mengenal beberapa istilah umum yang sering digunakan dalam dunia neurodivergensi? Yuk, simak penjelasan 6 istilah penting neurodivergen berikut di artikel Popmama.com ini. Jangan sampai tertukar, ya, Ma. Masing-masing punya ciri dan kebutuhan yang berbeda, lho!
1. ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)

ADHD (Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder) adalah gangguan perkembangan neuropsikiatrik yang ditandai oleh pola perhatian yang tidak stabil, perilaku hiperaktif, dan impulsivitas yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak.
Anak dengan ADHD biasanya mengalami kesulitan untuk memusatkan perhatian, mudah teralihkan, cenderung bergerak terus-menerus (hiperaktif), serta kerap bertindak tanpa berpikir panjang (impulsif).
Gejala ADHD umumnya mulai tampak pada usia 4 hingga 7 tahun dan dapat memengaruhi fungsi anak di berbagai aspek kehidupan, seperti di sekolah, rumah, dan dalam hubungan sosial. ADHD secara resmi diakui dan diklasifikasikan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5), yang merupakan panduan diagnosis yang digunakan secara luas oleh para profesional kesehatan mental.
Penanganan ADHD dapat dilakukan melalui kombinasi berbagai metode, tergantung pada kebutuhan masing-masing anak. Beberapa pendekatan umum meliputi:
Terapi okupasi, untuk membantu anak mengembangkan keterampilan motorik dan keterampilan sehari-hari.
CBT (Cognitive Behavioral Therapy) atau terapi kognitif perilaku, yang bertujuan membantu anak mengenali dan mengubah pola pikir serta perilaku yang mengganggu.
Terapi perilaku, untuk memperkuat perilaku positif dan mengurangi perilaku negatif melalui sistem penghargaan dan konsekuensi.
Medikasi stimulan, seperti metilfenidat atau amfetamin, yang terbukti efektif meningkatkan fokus dan mengurangi impulsivitas serta hiperaktivitas pada banyak anak dengan ADHD.
Dengan penanganan yang tepat dan dukungan lingkungan yang positif, anak dengan ADHD dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai potensinya.
2. ADD (Attention Deficit Disorder)

ADD (Attention-Deficit Disorder) adalah istilah lama yang digunakan untuk menggambarkan kondisi gangguan perhatian tanpa disertai hiperaktivitas.
Anak dengan ADD biasanya menunjukkan kesulitan dalam memusatkan perhatian, mudah teralihkan, sering melamun, dan tampak kurang responsif terhadap lingkungan sekitar, namun tidak menunjukkan perilaku hiperaktif atau impulsif yang mencolok.
Perbedaannya dengan ADHD terletak pada gejala utama yang ditampilkan. Jika ADHD mencakup tiga ciri utama: kurangnya perhatian (inattentiveness), hiperaktivitas, dan impulsivitas, maka ADD hanya menunjukkan gejala inattentiveness saja.
Anak dengan ADD bisa tampak tenang tetapi tetap mengalami kesulitan besar dalam fokus dan pengolahan informasi.
Istilah ADD saat ini sudah tidak lagi digunakan secara resmi, karena telah diklasifikasikan sebagai bagian dari spektrum ADHD tipe inattentive dalam panduan DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition).
Jadi, ADD sekarang dipandang sebagai salah satu dari tiga jenis utama ADHD:
Tipe inattentive (dulu dikenal sebagai ADD)
Tipe hiperaktif-impulsif
Tipe gabungan (kombinasi dari keduanya)
Gejala ADD atau ADHD tipe inattentive umumnya mulai terlihat pada usia 4–7 tahun, meskipun pada beberapa kasus baru teridentifikasi saat anak mulai masuk sekolah dasar, ketika tuntutan akademik dan sosial mulai meningkat.
3. ASD (Autism Spectrum Disorder)

ASD (Autism Spectrum Disorder) adalah gangguan perkembangan neurobiologis yang memengaruhi kemampuan anak dalam berkomunikasi, berinteraksi sosial, serta ditandai dengan perilaku atau minat yang terbatas dan repetitif.
Anak dengan ASD mungkin mengalami kesulitan dalam memahami isyarat sosial, membangun relasi, serta sering menunjukkan perilaku yang berulang, seperti mengayun tubuh, mengatur mainan dengan pola tertentu menurutnya ‘perfek’, atau fokus yang sangat intens terhadap topik tertentu.
Gejala ASD umumnya mulai terlihat sejak usia 18 bulan hingga 3 tahun, meskipun pada beberapa kasus bisa teridentifikasi lebih awal atau lebih lambat tergantung tingkat keparahan dan kesadaran orang tua atau pendidik terhadap tanda-tandanya.
ASD secara resmi diakui dalam DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition) sebagai satu spektrum gangguan yang mencakup berbagai tingkat keparahan, menggantikan istilah sebelumnya seperti autisme klasik, Asperger’s Syndrome, dan PDD-NOS.
Organisasi seperti AAP (American Academy of Pediatrics) telah mengembangkan Autism Toolkit untuk membantu profesional dan keluarga dalam mengenali dan menangani ASD.
CDC (Centers for Disease Control and Prevention) juga menyediakan panduan dan riset mengenai diagnosis ASD dan bagaimana melakukan intervensi dini.
Saran terapi untuk ASD lebih bersifat individual, tergantung pada kebutuhan anak, namun beberapa pendekatan yang biasanya dipakai di antaranya:
Terapi okupasi, untuk membantu anak mengembangkan keterampilan sehari-hari dan motorik halus.
Terapi wicara, untuk meningkatkan kemampuan komunikasi verbal dan nonverbal.
ABA (Applied Behavior Analysis), sebuah pendekatan perilaku berbasis bukti yang membantu membentuk perilaku positif dan mengurangi perilaku yang mengganggu.
Terapi integrasi sensori, untuk membantu anak mengelola respons terhadap rangsangan sensorik yang berlebihan atau kurang responsif.
Penanganan yang dilakukan secara dini dan konsisten sangat penting dalam membantu anak dengan ASD mencapai potensi terbaik mereka. Dukungan dari keluarga, tenaga profesional, dan lingkungan sekitar juga menjadi kunci keberhasilan terapi ini.
4. PDD-NOS (Pervasive Developmental Disorder-Not Otherwise Specified)

PDD-NOS (Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified) adalah diagnosis yang dahulu digunakan untuk menggambarkan individu yang menunjukkan beberapa gejala autisme, namun tidak sepenuhnya memenuhi kriteria diagnostik untuk Autism Spectrum Disorder (ASD) atau gangguan perkembangan lainnya seperti Asperger Syndrome atau Autistic Disorder.
PDD-NOS sering kali diberikan kepada anak yang mengalami gejala autistik yang ringan, tidak lengkap, atau muncul secara atipikal, misalnya memiliki kesulitan dalam komunikasi sosial dan menunjukkan perilaku repetitif, tetapi tidak dengan intensitas atau pola khas seperti pada autisme.
Kondisi ini bisa sangat bervariasi antar individu, sehingga sering disebut sebagai “atypical autism” (autisme atipikal).
Sejak diterbitkannya DSM-5 pada tahun 2013, istilah PDD-NOS tidak lagi digunakan secara resmi.
Sebagai gantinya, individu yang sebelumnya didiagnosis dengan PDD-NOS sekarang diklasifikasikan sebagai bagian dari Autism Spectrum Disorder (ASD), dengan tingkat keparahan yang dijelaskan lebih lanjut dalam diagnosis (misalnya, ASD level 1, 2, atau 3 tergantung pada kebutuhan dukungan).
Saran terapi untuk individu yang sebelumnya didiagnosis dengan PDD-NOS umumnya sama dengan terapi untuk ASD, karena kebutuhan perkembangan dan tantangan yang dihadapi serupa.
5. SPD (Sensory Processing Disorder)

SPD (Sensory Processing Disorder) adalah gangguan yang memengaruhi cara otak menerima, menginterpretasi, dan merespons informasi sensorik dari lingkungan maupun dari dalam tubuh sendiri.
Anak dengan SPD bisa menjadi terlalu sensitif (hiperresponsif) atau kurang responsif (hiporesponsif) terhadap rangsangan sensorik seperti suara, sentuhan, cahaya, gerakan, atau tekstur tertentu.
Beberapa anak mungkin tampak terganggu oleh suara kecil atau tekstur pakaian, sementara yang lain justru tidak merespons meskipun dipanggil atau disentuh.
SPD dapat mulai terlihat sejak usia 1 hingga 6 tahun, terutama ketika anak mulai menunjukkan kesulitan dalam aktivitas sehari-hari yang melibatkan pemrosesan sensorik seperti makan, berpakaian, bermain, atau berinteraksi sosial.
Walaupun gejala SPD nyata dan dapat berdampak signifikan terhadap perkembangan anak, SPD belum diakui secara resmi dalam DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition) sebagai diagnosis tersendiri. Namun, gangguan pemrosesan sensorik bisa muncul sebagai bagian dari kondisi lain, seperti ASD (Autism Spectrum Disorder), ADHD, atau gangguan perkembangan lainnya.
Konsep SPD pertama kali diperkenalkan melalui Sensory Integration Theory oleh Dr. A. Jean Ayres, seorang terapis okupasi dan psikolog pendidikan.
Penelitian dan pengembangan tentang SPD kemudian dilanjutkan oleh berbagai institusi, salah satunya STAR Institute for Sensory Processing (di AS) yang menjadi salah satu pusat keilmuan dan terapi SPD terkemuka di dunia.
Meskipun belum diakui dalam DSM-5 sebagai diagnosis mandiri, SPD tetap menjadi perhatian serius dalam dunia terapi anak karena dampaknya yang sangat mempengaruhi kehidupan sehari-hari.
Evaluasi oleh profesional yang kompeten sangat dianjurkan untuk memastikan diagnosis yang tepat dan mendapatkan pendekatan intervensi yang sesuai.
6. GDD (Global Developmental Delay)

GDD (Global Developmental Delay) adalah kondisi di mana seorang anak mengalami keterlambatan perkembangan yang signifikan dalam dua atau lebih area utama perkembangan, yaitu:
Motorik kasar dan halus (misalnya, duduk, merangkak, berjalan, atau menggenggam)
Bahasa dan komunikasi (berbicara, memahami perintah, atau mengekspresikan diri)
Kognitif (kemampuan berpikir, memecahkan masalah, atau belajar)
Sosial-emosional (berinteraksi dengan orang lain, menunjukkan emosi secara tepat)
Aktivitas adaptif (kemampuan untuk makan sendiri, berpakaian, atau merawat diri)
GDD biasanya teridentifikasi pada anak usia di bawah 5 tahun, karena pada usia ini pertumbuhan dan pencapaian milestone perkembangan berlangsung pesat dan terlihat jelas.
Diagnosis GDD umumnya diberikan ketika keterlambatan tidak dapat dijelaskan oleh kondisi spesifik lainnya seperti cerebral palsy, autisme, atau sindrom genetik tertentu, tetapi tetap menunjukkan adanya gangguan yang memerlukan intervensi.
GDD tidak termasuk dalam DSM-5, tetapi merupakan diagnosis klinis yang digunakan secara luas oleh dokter anak, psikolog, dan terapis berdasarkan kriteria dari organisasi seperti WHO (ICD-10/11) dan AAP (American Academy of Pediatrics).
Itu dia 6 istilah penting neurodivergen. Apakah Mama sudah pernah mendengar istilah-istilah ini sebelumnya? Apa informasi dalam artikel ini sesuai dengan pemahaman Mama?