Bukan Soal Kemauan, Ini Alasan Krisis Fertilitas Jadi Sorotan UNFPA

- UNFPA soroti alasan terbesar orang Indonesia tidak ingin memiliki anak
- Pentingnya dukungan nyata bagi setiap individu yang ingin memiliki anak
- Punya anak atau menunda dulu?
Fenomena menurunnya angka kelahiran bukan lagi sekadar tren global, tapi juga menjadi perhatian serius di Indonesia. Salah satu sorotan terbaru datang dari UNFPA (United Nations Population Fund) dan BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional), yang menegaskan bahwa krisis fertilitas bukan disebabkan oleh keengganan orang untuk memiliki anak.
Justru sebaliknya, banyak orang sebenarnya ingin membentuk keluarga dan memiliki anak, tetapi berbagai hambatan struktural dan sosial membuat keinginan tersebut sulit diwujudkan. Mulai dari biaya hidup yang tinggi, tekanan pekerjaan, hingga kurangnya dukungan kebijakan menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan.
Lantas sebenarnya, apa yang menjadi alasan krisis fertilitas yang menjadi sorotan UNFPA? Kenapa dukungan nyata begitu penting bagi calon orang tua? Simak informasi selengkapnya di Popmama.com.
1. UNFPA soroti alasan terbesar orang Indonesia tidak ingin memiliki anak

Berdasarkan survei UNFPA yang melibatkan 1.015 responden di Indonesia, ditemukan bahwa hambatan terbesar untuk memiliki anak adalah faktor ekonomi dan ketidakpastian hidup. Mulai dari biaya membesarkan anak, sulitnya akses kepemilikan rumah, hingga ketidakstabilan pekerjaan menjadi penyebab utama.
“Krisis fertilitas sesungguhnya bukanlah soal orang yang tidak ingin punya anak, melainkan banyak yang ingin punya anak tapi tidak mampu. Laporan ini menemukan bahwa dari responden yang disurvei, lebih dari 70% orang ingin punya dua anak atau lebih,” ujar Hassan Mohtashami, UNFPA Indonesia Representative dalam konferensi pers State of World Population (SWP) 2025 di Jakarta (3/7).
Data ini menunjukkan bahwa keinginan untuk memiliki anak sebenarnya masih tinggi, namun tidak didukung oleh kondisi sosial dan ekonomi yang memadai.
2. Pentingnya dukungan nyata bagi setiap individu yang ingin memiliki anak

UNFPA dan BKKBN menekankan bahwa solusi dari krisis fertilitas tidak cukup hanya dengan mengajak masyarakat untuk memiliki anak, melainkan harus dibarengi dengan lingkungan yang mendukung.
Beberapa bentuk dukungan yang dibutuhkan antara lain:
Cuti melahirkan dan ayah yang memadai.
Akses layanan fertilitas yang terjangkau.
Kebijakan keluarga yang inklusif dan ramah gender.
Dukungan tempat kerja bagi orangtua baru.
Akses pendidikan dan layanan kesehatan yang merata.
Bonivasius Prasetya Ichtiarto, Deputi Pengendalian Kependudukan BKKBN, menambahkan bahwa pihaknya berkomitmen dalam membangun kebijakan berbasis manusia, termasuk memastikan pembangunan keluarga yang berkualitas.
Health Affairs Journal (2023) juga menyatakan bahwa, kebijakan dukungan keluarga yang kuat dapat meningkatkan tingkat fertilitas dan memperbaiki kualitas hidup keluarga muda secara signifikan.
3. Punya anak atau menunda dulu?

Di tengah tekanan ekonomi dan gaya hidup modern yang terus berubah, generasi muda saat ini berada di persimpangan besar, melanjutkan harapan orang tua untuk segera punya anak, atau menunda karena belum siap secara mental dan finansial.
Banyak yang sebenarnya ingin punya keluarga, tapi merasa harus realistis dengan kondisi hidup mereka. Mula dari segi finansial hingga ketidaksiapan secara emosional.
Studi dari Pew Research Center menunjukkan bahwa, alasan menunda memiliki anak kini lebih kompleks dibandingkan generasi sebelumnya. Bukan lagi sekadar soal karier, tetapi juga karena kekhawatiran tentang masa depan dan kestabilan hidup.
Ini memperkuat pandangan bahwa, krisis fertilitas bukanlah soal egoisme atau keengganan, tapi tentang bagaimana generasi muda berusaha mengambil keputusan hidup dengan penuh pertimbangan.
Maka dari itu, menciptakan ekosistem yang ramah keluarga dan empati terhadap pilihan hidup masing-masing, tentu menjadi satu hal yang sangat penting untuk saat ini.