Baca artikel Popmama lainnya di IDN App
For
You

10 Puisi Hari Kebangkitan Nasional

Puisi Hari Kebangkitan Nasional
Popmama.com/Imtiyaz Putri

Diperingati setiap tanggal 20 Mei, Hari Kebangkitan Nasional merupakan momen penting dalam sejarah Indonesia. Tanggal ini erat kaitannya dengan lahirnya organisasi Budi Utomo pada 20 Mei 1908, yang dianggap sebagai tonggak awal kebangkitan semangat nasionalisme di tanah Hindia Belanda. 

Selain itu, peristiwa penting lainnya seperti berdirinya Sarekat Islam (16 Oktober 1905) dan ikrar Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) juga menjadi bagian dari perjalanan menuju kemerdekaan Indonesia.

Momen-momen tersebut menandai fase baru dalam sejarah bangsa, ketika pemuda-pemuda Hindia Belanda mulai menyadari identitas kebangsaan mereka dan memperjuangkan kemerdekaan sebagai sebuah bangsa bernama "Indonesia."

Sebagai generasi yang lahir setelah kemerdekaan, kita hanya bisa menghayati perjuangan dan semangat para pahlawan melalui jejak-jejak yang mereka tinggalkan, salah satunya adalah semangat nasionalisme yang tergambar dalam puisi-puisi dari masa itu.

Dalam artikel ini, Popmama.com merangkum 10 puisi Hari Kebangkitan Nasional yang ditulis oleh sastrawan dari berbagai angkatan, mulai dari Angkatan Balai Pustaka hingga Angkatan ‘66. Yuk, simak sampai habis, Ma!

1. Bahasa, Bangsa oleh Moh. Yamin

Moh Yamin
Pinterest.com/Vel-

Was du ererbt von deinen Vätern,

Erwirb es, umes zu besitzen.

- Goethe

Selagi kecil berusia muda

Tidur si anak di pangkuan bunda,

Ibu bernyanyi, lagu dan dendang

Memuji si anak banyaknya sedang.

Berbuai sayang malam dan siang,

Buaian tergantung di tanah moyang.

Terlahir di bangsa, berbahasa sendiri

Diapit keluarga kanan dan kiri.

Besar budiman di tanah Melayu

Berduka suka, sertakan sayu;

Perasaan serikat menjadi berpadu,

Dalam bahasanya, permai merdu.

Meratap menangis bersuka raya

Dalam bahagia bala dan baya;

Bernafas kita pemanjangkan nyawa,

Dalam bahasa sambungan jiwa,

Di mana Sumatera, di situ bangsa,

Di mana Perca, di sana bahasa.

Andalasku sayang, jana-bejana,

Sejakkan kecil muda teruna,

Sampai mati berkalang tanah

Lupa ke bahasa, tiadakan pernah,

Ingat pemuda, Sumatera malang

Tiada bahasa, bangsa pun hilang.

Jong Sumatra, 1921

2. Merdekalah Bangsaku oleh Moh. Yamin

Sejarahmu terus terkenang di ingatanku 

Tujuh belas Agustus saksi bisu hari kebebasanku 

Para pahlawan bertaruh keras pertahankan keutuhanmu 

Sebagai kenangan sepanjang hidup 

Indonesia kini merdeka 

Berkibarnya sang merah putih bawa napas lega tanpa nestapa 

Mengenang cerita berderailah air mata 

Kemerdekaan hilangkan jeritan lara Indonesia merdeka 

Lahirkan pemuda pemudi bangsa 

Terbang ke awan menguak kedamaian 

Menengok ke kanan bawa kebaikan 

Kaki cengkeram erat semboyan kemerdekaan

3. 1945-1960 oleh Mochtar Lubis

Mochtar Lubis
Dok. Anefo - Nationaal Archief/ Rob Bogaerts

Teriak dan pekik peperangan

Bunga-bunga bertaburan

Pesing, Semarang, Surabaya

Bandung, Bekasi dan Krawang

Merdeka atau mati!

Merdeka! Merdeka! Merdeka!

Mengguntur tekad cita-cita

pemuda dan rakyat di tahun

empat puluh limaan

janji kemerdekaan manusia

Indonesia ditebus dengan

darah dan mayat berhamburan

di seluruh Nusantara

dari pantai ke pantai, lembah ke lembah,

gunung ke gunung, sungai ke sungai,

di jalan-jalan dalam kota

dengan darah angkatan empat lima menulis

rakyat kami mesti merdeka dari

kezaliman dan penindasan.

Tapi kemudian setelah merdeka

banyak mereka lupa sumpah empat lima

kembalilah kezaliman dan penindasan

Teror bertualang di kota dan desa

Ketakutan masuk memeras hati

Kini di tahun enam puluh enam

Terdengar di luar tembok rumah penjara

Gegap gempita teriak perang

Dentuman bedil dan gemuruh panzer

Arif Rachman, Zubaedah

29 Maret 1966

4. Prajurit Jaga Malam oleh Chairil Anwar

Chairil Anwar
Dok. Tiga Menguak Takdir, Balai Pustaka (public domain)

Waktu jalan...

Aku tidak tahu apa nasib waktu

Pemuda-pemuda yang lincah yang tua tua keras, bermata tajam

Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian

Ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini

Aku suka pada mereka yang berani hidup

Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam

Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu

Waktu jalan...

Aku tidak tahu apa nasib waktu!

5. Karawang-Bekasi oleh Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi

Tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami

Terbayang kami maju dan berdegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu

Kenang, kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa

Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya jiwa

Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan

Atau tidak untuk apa-apa

Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata

Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang-kenanglah kami

Menjaga Bung Karno

Menjaga Bung Hatta

Menjaga Bung Syahrir

Kami sekarang mayat

Berilah kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang-kenanglah kami

Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

6. Kembalikan Indonesia Padaku oleh Taufiq Ismail

Taufiq Ismail
Id.wikipedia.org/Rachmat04

kepada Kang Ilen

Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,

Hari depan Indonesia adalah bola‐bola lampu 15 wat,

sebagian berwarna putih dan sebagian hitam,

yang menyala bergantian,

Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam

dengan bola  yang bentuknya seperti telur angsa,

Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam

karena seratus juta penduduknya,

Kembalikan Indonesia padaku

Hari depan Indonesia adalah satu juta orang main pingpong siang malam

dengan bola telur angsa di bawah sinar lampu 15 wat,

Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang pelan‐pelan tenggelam

lantaran berat bebannya kemudian angsa‐angsa berenang‐renang di atasnya,

Hari depan Indonesia adalah dua ratus juta mulut yang menganga,

dan di dalam mulut itu ada bola‐bola lampu 15 wat,

sebagian putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,

Hari depan Indonesia adalah angsa‐angsa putih yang berenang‐renang

sambil main pingpong di atas pulau Jawa yang tenggelam

dan membawa seratus juta bola lampu 15 wat ke dasar lautan, 

Kembalikan Indonesia padaku

Hari depan Indonesia adalah pertandingan pingpong siang malam

dengan bola yang bentuknya seperti telur angsa,

Hari depan Indonesia adalah pulau Jawa yang tenggelam

karena seratus juta penduduknya,

Hari depan Indonesia adalah bola‐bola lampu 15 wat, 

sebagian berwarna putih dan sebagian hitam, yang menyala bergantian,

Kembalikan Indonesia padaku

Paris, 1971

7. Kepada Pattimura oleh Zawawi Imron

Zawawi Imron
Id.wikipedia.ord/GFDL

kala tali gantungan erat menjerat

gagang lehermu, senyum cantik kemerdekaan

menyingsing dari bibirmu

o, hembusan napasmu, tak ada arti

letusan ngeri gunung berapi

angkatan demi angkatan boleh bersilih

tapi parangmu

dan tiang gantunganmu

tak terlupakan

dahagamu dihargai para ahli waris

yang mengenal nilai-nilai kesopanan

kesopanan yang sepintas pantas menetaskan

perang

kaulihat sendiri, Pattimura!

sekitar tahun empat lima dan enam lima

anak-anakmu menyusulmu

tapi musuhmu jatuh tersungkur

kini

tinggal hatimu yang gemerlapan

dalam bahasa lampu neon di kota-kota

dan tunggu! nanti kan sampai juga ke desa-desa

biarlah nanti

pada tiap dinding rumah para pemanjat pohon

siwalan

di ujung timur pulau Madura

dipasang gambarmu yang memegang parang

saat ini mereka belum mengenalmu

tapi senyummu

sudah kulihat bermekaran pada bibir-bibir mereka

senyuman tanah air yang begitu indah

1967

8. Bangsaku, Bersatulah oleh Asmara Hadi

Asmara Hadi
Gmnifibugm.blogspot.com

Kalau kupikir kukenang-kenang,

Hatiku duka merasa pilu;

Lautan besar rasa kurenang,

Pekerjaan berat sukar terlalu

            Indonesia Merdeka dicita-cita,

            Menjadi kenangan setiap waktu;

            Tetapi apa hendak dikata

            Bangsaku belum lagi bersatu,

Mereka mengaku ingin merdeka,

Baris persatuan lenggang dan jarang;

Bagaimana dapat tampil ke muka,

Kalau kekuatan kita kurang?

            Saudaraku, sebangsa setanah air,

            Dengar apalah aku berseru

            Indonesia merdeka supaya lahir,

            Hilangkan sifat tengkar cemburu!

Wahai saudaraku, bangsa melarat,

Supaya dapat apa dicita

Aturlah barisan kuat dan rapat

Sepakat semanis, seia sekata.

Pikiran Rakyat (November, 1932)

9. Zaman Kami oleh Asmara Hadi

Zaman kami zaman membakar

Zaman jang penuh perdjuangan

Dan kami generasi kini

Berdjuang dalamnja bagai pahlawan

Pada wadjah kami bersinar

Indah tjemerlang tjahja kemenangan

Djantung kami berdegup gumbira

Seperti akan melihat tunangan

Kami berdjuang menjerahkan djiwa

Pada zaman jang perlukan kami

Dalam kekalahan zaman sekarang

Kamilah rasul kemenangan nanti

Seperti dari puntjak gunung jang tinggi

Kita lebih dahulu dapat melihat,

Tjahaja fadjar kemerah-merahan

Tanda matahari akan terbit

Sedang djauh didalam lembah

Semuanja masih gelap-gulita

Demikianlah djiwaku lebih dahulu

Dari puntjak gunung puisi

Dapat melihat sinar memerah

Sinar fadjar kemenangan kita

Sedang dalam kehidupan sehari-hari

Semuanja masih gelap-gulita

Pudjangga Baru, no.1 , th. V, Djuli 1937

10. Bintang Merdeka oleh Armijn Pane

Armijn Pane
Dok. Kisah Antara Manusia, Balai Pustaka (public domain)

Dari jendela aku meninjau,

Bayangan pohon menggelap di mukaku,

Memagar hati dan pandanganku,

Hati mengeluh bertambah rusuh.

Mata menembus ke tempat jauh,

Bintang gemerlap di kelir putih,

Hati pun lega, mengimbau harapan,

Tenaga bertambah hendak berjuang.

Tegap dada korbankan tenaga,

Tembus keluh dan rusuh,

Tujukan mata ke tempat tujuan,

Di sana bersinar bintang merdeka.

Gamelan Jiwa (1960)


Itulah dia 10 puisi Hari Kebangkitan Nasional yang ditulis oleh para pujangga, dari masa ke masa. Semangat kemerdekaan di balik bait-baitnya begitu menggelora, ya, Ma!

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Novy Agrina
EditorNovy Agrina
Follow Us